Sukses

Perkumpulan Ojek Online Ingin Ajukan Uji Materi UU Lalu Lintas ke MK

Di lapangan sering terjadi reaksi demonstrasi penolakan dari berbagai pihak yang berkepentingan seperti ojek konvensional dan angkot yang menganggap ojek online ilegal.

Liputan6.com, Jakarta Komite Aksi Transportasi Online (KATO) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin, 7 Mei 2018.

Ketua Presidium KATO Said Iqbal mengatakan, pasal yang akan diuji adalah Pasal 138 ayat 3 yang menyebutkan, angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan dengan UUD 1945, khususnya pasal Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 28G ayat 1.

‎“Kami akan mendaftarkan judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi pada hari Senin tanggal 7 Mei 2018 sekitar jam 11.00," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (6/5/2018).

‎Presiden KSPI ini menjelaskan, bunyi pasal 27 ayat 2 adalah Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara Pasal 28D ayat 1 berbunyi, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Sedangkan Pasal 28G ayat 1 menyebutkan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

“Muatan Pasal 138 ayat 3 UU LLAJ yang menyatakan angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum yang memberikan batasan hanya untuk mobil penumpang, mobil bus, dan mobil barang, tidak mencakup ojek online,” kata dia.

Menurut Said Iqbal, saat ini keberadaan ojek online ini ada di sekitar kita. Transportasi ini beroperasi memanfaatkan penggunaaan aplikasi perusahaan Gojek, Grab dan dahulu ada Uber sebelum diakuisisi oleh Grab, guna memenuhi permintaan masyarakat/konsumen akan kebutuhan angkutan umum orang dan/atau barang melalui online.

“Masyarakat pun merasakan sangat senang dan terbantu dengan beroperasinya ojek online ini, maka terhadap adanya kenyataan ini, maka diperlukan adanya jaminan hak konstitusional dari masyarakat pengguna dan driver ojek online,” jelas dia.

 

2 dari 2 halaman

Tuntut Status

Dia juga mengungkapkan, akibat tidak adanya perlindungan bahkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum berdampak ke sopir ojek online. Akhirnya, di lapangan sering terjadi reaksi demonstrasi penolakan dari berbagai pihak-pihak yang berkepentingan seperti para ojek konvensional dan angkot yang menganggap ojek online ilegal.

“Hal ini sangat potensial menimbulkan adanya kerugian bagi driver ojek online berupa ancaman kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, rasa ketidakamanan serta tidak adanya perlindungan dari ancaman ketakutan akan gangguan dalam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, serta menimbulkan keresahan bagi konsumen atau masyarakat pada saat memanfaatkan penggunaan jasa pengemudi ojek online,” tegas dia.

Oleh karena itu, Said berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 138 ayat 3 UU No 22/ 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KATO, Yudi, mendesak agar pemerintah serius menangani permasalahan ojek online. "Kami sudah berjuang selama 4 tahun, tetapi belum sepenuhnya diperhatikan," ujar dia.

Menurut dia, uji materi ini sebagai bagian untuk menuntut masalah legalitas, regulasi, dan kemitraan. "Kami mengajukan gugatan kepada Pemerintah karena bersalah dan mengabaikan kesejahteraan para driver ojek online. KATO akan memperjuangkan kejelasan, diantaranya status kami yang belum resmi sebagai moda transportasi umum," tandas dia.

Video Terkini