Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis jika Indonesia masih mendapatkan kepercayaan dari para investor, meski nilai tukar rupiah terus tertekan. Saat ini, rupiah sudah tembus Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, gejolak nilai tukar yang terjadi saat ini bukan hanya dialami rupiah semata, tetapi juga mata uang negara lain di dunia.‎
Advertisement
Baca Juga
‎"Kalau menurut saya sih enggak ya (kepercayaan investor turun). Kan memang volatilitas di dunia lagi tinggi, dalam konteks volatilitas yang tinggi itu kan semua melakukan adjustment," ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Walaupun terjadi pelemahan rupiah, diakui Suahasil, dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia merupakan salah satu yang terbaik. Hal ini dinilai menjadi modal yang kuat bagi para investor untuk tetap melirik Indonesia sebagai tempat menanamkan modalnya.‎
"Tetapi kan posisi Indonesia dari sisi economic growth cukup baik dan mendapatkan apresiasi. Kalau aspirasi tentu lebih tinggi dari itu, tapi kan ada apresiasi ekonomi kita tumbuh 5,06 persen di kuartal I 2018 dengan kualitas yang cukup menjanjikan, yaitu terutama investasinya tinggi mencapai 7,95 persen, hampir mencapai 8 persen," jelas dia.
Menurut Suahasil, saat ini kegiatan ekonomi dan industri di dalam negeri tidak terlalu terpangaruh oleh pelemahan rupiah. Hal ini terlihat dari pertumbuhan impor yang masih tinggi di mana didalamnya didominasi oleh impor bahan baku dan barang penolong.
"Impor memang kelihatan tinggi 12 peren pertumbuhannya, ekspor hanya 6 persen. Tapi kalau lihat komposisi impor, banyak yang barang modal. Nah ini connect dia impor barang modal dengan investasi. Berarti proses ekspansi dunia usaha mulai terjadi, mulai berlangsung. Ini juga memberi harapan di masa yang akan datang akan memberikan multiplier yang lebih tinggi lagi," tandas dia.
Rupiah Diprediksi Bisa Tembus 14.200 per Dolar AS
Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir Mei 2018. Bahkan masih terbuka peluang rupiah terdepresiasi hingga 14.000-14.200 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah.
Pertama, para investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan suku bunga Bank Central Amerika Serikat (AS) pada rapat FOMC Juni mendatang. Hal ini juga setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.
"Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp 11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Kedua, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok -2,8 persen di kuartal I 2018 dan data penjualan ritel yang turun.
"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen," ungkap dia.
Ketiga, harga minyak mentah terus meningkat hingga USD 74-USD 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China.
Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga BBM nonsubsidi seperti Pertalite dan Pertamax menyesuaikan mekanisme pasar.
"Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam satu bulan terakhir," kata dia.
Â
Advertisement
Selanjutnya
Keempat, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar merupakan investor asing, sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Kelima, Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek.
"Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap perilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs," dia menjelaskan.‎
Keenam, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1 persen terhadap PDB. "Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik," tutur dia.