Sukses

BI: Pelemahan Rupiah Hanya Sementara

Pelemahan kurs rupiah dan mata uang negara lain diyakini hanya bersifat sementara.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah menembus 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan mata uang Garuda ini disebut-sebut yang paling rendah sejak Desember 2015.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, gejolak yang terjadi pada rupiah merupakan dampak dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Ini membuat perubahan pada pergerakan modal global sehingga berimbas pada nilai tukar mata uang di dunia, termasuk Indonesia.

"Tapi kalau menurut BI perubahan pergerakan modal di dunia ini volatilitas tidak seperti 2013 yang saat itu keras sekali. Karena itu pertama kalinya AS menyatakan suku bunga akan naik. Lalu di 2015, volatilitas cukup tinggi. Jadi 2013 diumumkan, 2015 naik suku bunganya. Jadi volatilitas  2013 dan 2015 cukup tinggi," ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Namun kenaikan suku bunga pada 2018 ini, lanjut Mirza, akan menyebabkan volatilitas yang terjadi pada nilai tukar hanya bersifat sementara saja. Dan ini bukan hanya terjadi pada rupiah, tapi juga mata uang lain.

"Tapi kalau 2018 itu kenaikan suku bunga di AS yang berlanjut ini menurut kami sih volatilitas sementara saja dan dialami oleh berbagai negara. Filipina, India juga ada volatilitas. Turki, Brasil, bahkan negara negara maju seperti Swedia, Norwegia, Australia juga melemah kursnya," kata dia.

Mirza mengakui, bagi negara-negara yang nilai ekspor-impor barang dan jasanya defisit akan cenderung melemah. Namun hal tersebut bukan suatu hal yang perlu menjadi kekhawatiran, sebab defisit yang dialami Indonesia masih dalam level yang aman.

"Tahun lalu 1,7 persen terhadap PDB. Tahun ini jadi 2,2 persen-2,3 persen PDB itu masih sangat prudent. Dan itu disebabkan oleh kenaikan impor. Dan kenaikan impor itu mengirimkan kesan positif karena kenaikan impor itu akibat kenaikan impor barang modal, barang mentah, setengah jadi, dan itu dibutuhkan untuk produksi," ungkap dia.

Selain itu, dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi yang cenderung baik, maka pelemahan rupiah ini tidak akan terlalu berdampak pada perekonomian.

"Dan kemarin di data PDB kan tunjukkan bahwa sektor investasi itu pertumbuhan kan tinggi. Di atas 7 persen dan itu tunjukkan bahwa kenaikan impor itu memang untuk produksi yang kelihatan di sektor investasi dan kontruksi yang meningkat. Jadi itu nanti akan jadi modal pertumbuhan ekonomi ke depan," tandas dia.

2 dari 2 halaman

Rupiah Tembus 14.000 per Dolar AS, Terendah sejak Desember 2015

Nilai tukar Rupiah kembali terpuruk. Rupiah tercatat diperdagangkan di atas 14.000 per USD untuk pertama kalinya sejak Desember 2015. Ini dipicu kekhawatiran jika pertumbuhan ekonomi yang di luar target, dapat membatasi opsi bank sentral untuk mempertahankan mata uang ini.

Mengutip laman Bloomberg, Senin (7/5/2018), Rupiah anjlok 0,5 persen menjadi 14.003 per USD, sebelum diperdagangkan pada 13.999 pukul 4:55. Dalam 3 bulan terakhir, mata uang Garuda telah melemah 3,2 persen. Ini membuatnya menjadi pemain terburuk kedua di Asia setelah rupee India, mengutip data Bloomberg.

Perekonomian Indonesia dilaporkan tumbuh di luar target pada kuartal I tahun ini. BPS melaporkan ekonomi nasional hanya tumbuh 5,06 persen dari target 5,2 persen.

Kondisi ini diprediksi akan mempersulit langkah Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga guna melindungi mata uang. Bank sentral telah meningkatkan pembelian obligasi negara dari pasar sekunder untuk membendung aksi jual dan melakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan rupiah.

Menurut Mingze Wu, pedagang mata uang INTL FCStone Inc di Singapura, tekanan pada mata uang dapat terus berlanjut karena investor asing akan mengonversi dividen dan pembayaran bunga saham dan obligasi dalam denominasi Rupiah menjadi dolar. "Ini hanya musiman yang menambah tekanan," kata Wu.

"Meskipun demikian, 14.000 adalah penghalang psikologis sehingga bank sentral mungkin masih memainkan bagian untuk mempertahankan ini," lanjut dia.

Namun, Kepala Ekonomi dan penelitian PT UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, menilai ada kesalahpahaman jika ekonomi Indonesia tampak sedang menuju kemunduran seperti yang ditunjukkan oleh depresiasi Rupiah.

“Tapi kami melihat ini sebagai penguatan dolar yang luas, dan upaya yang diambil oleh Bank Indonesia untuk campur tangan dari waktu ke waktu untuk memperbaiki kesalahpahaman dibenarkan,” dia menuturkan.

Video Terkini