Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah jelang Ramadan membuat pelaku industri makanan dan minuman dilema. Pasalnya, pelemahan ini membuat biaya produksi naik, sehingga berimbas pada harga jual produk.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menyatakan, selama ini bahan baku industri makanan dan minuman masih harus bergantung pada impor.
Advertisement
Baca Juga
Contohnya, tepung terigu sebanyak 7 juta ton per tahun atau 100 persen, gula 3,5 juta ton atau 100 persen, garam 550 ribu ton atau 70 persen, susu 2 juta ton atau 70 persen.
"Itu beberapa contoh bahan baku yang masih diimpor," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Dengan rupiah yang melemah, kata dia, otomatis industri harus membeli bahan baku impor dengan harga yang lebih mahal. Hal ini menjadi beban tambahan bagi biaya produksi dan berdampak pada kenaikan harga jual produk.
"Kurs ini naik sekitar 5 persen, yang otomatis akan menaikkan biaya produksi," kata dia.
Â
Sulit Naikkan Harga
Namun, jelang Ramadan dan Lebaran, sulit bagi para pengusaha untuk menaikkan harga jual produknya. Sebab, kenaikan tersebut bisa memacu inflasi di bulan puasa lebih tinggi lagi.
"Sulit menaikkan harga menjelang Ramadan dan Lebaran. Dilema. Sampai sekarang kita akan bertahan karena persiapan puasa-Lebaran sulit menaikkan harga," jelas dia.
Oleh sebab itu, jalan satu-satunya yang ditempuh pengusaha, yaitu dengan memaksimalkan stok bahan baku yang ada. Adhi berharap stok ini mencukupi hingga Lebaran, sehingga pengusaha makanan dan minuman tidak perlu menaikkan harga produknya hingga hari raya tersebut.
"Sementara akan memaksimalkan stok bahan baku lama yang biasanya ada sekitar 1 bulan. Dan stok produksi jadi juga sekitar 1 bulan. (Industri) Masih bertahan sampai Lebaran. Kita memanfaatkan stok bahan baku dan barang jadi yang ada," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement