Sukses

Sri Mulyani Diminta Tak Naikkan Tarif Cukai Rokok di 2019

Kenaikan tarif cukai rokok dikhawatirkan berdampak besar terhadap penjualan rokok pedagang eceran.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2019. Selain membuat industri hasil tembakau (IHT) semakin terpuruk, kenaikan tersebut dikhawatirkan berdampak besar terhadap penjualan rokok pedagang eceran.

‎Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Sjukrianto menyatakan pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok dalam 3-4 tahun terakhir. Namun, dia melihat jika kebijakan tersebut diambil tanpa memperhatikan dampak yang dirasakan masyarakat, terutama terkait pendapatan dari penjualan rokok.

“Kalau pendapatan masyarakat bertambah, tidak masalah cukai dinaikkan. Tapi pendapatan masyarakat juga belum naik,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (16/5/2018).

Dengan tarif kenaikan cukai rokok rata-rata 10,04 persen di tahun ini, lanjut Sjukrianto, para pedagang eceran sudah mengalami penurunan penjualan. 

Sementara untuk tahun ini, dia memperkirakan pertumbuhan pendapatan dari penjualan rokok di tahun ini stagnan.

“Apalagi kalau cukai rokok tambah dinaikkan, pendapatan tidak akan tumbuh,” Sjukrianto menambahkan. 

‎Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Wilgo Zainar meminta pemerintah untuk tidak lagi membebani industri dengan kenaikan cukai yang tinggi di tahun depan. Terlebih jika kenaikan ini hanya ‎untuk mengejar target penerimaan negara yang terus meningkat.

"Kenaikan cukai rokok pasti akan berdampak pada serapan hasil produksi petani tembakau, penyerapan tenaga kerja, juga penerimaan cukai dan pajak rokok," kata dia.

Menurut dia, penerapan tarif cukai rokok harusnya menggunakan parameter ekonomi yang jelas. Sedangkan tarif yang berlaku saat ini sudah sangat membebani industri rokok. 

"Jika pemerintah ingin mendapatkan penerimaan cukai yang lebih optimal, seharusnya bisa melalui ekstensifikasi barang kena cukai lainnya dan bukan dengan kenaikan tarif cukai rokok yang tinggi," tandas Wilgo. 

2 dari 2 halaman

Peredaran Rokok Elektrik Ganggu Produksi Djarum

Perusahaan rokok milik orang terkaya di Indonesia Hartono bersaudara, PT Djarum memperkirakan terjadi penurunan produksi rokok pada tahun ini sekitar 1,2 miliar batang atau 2 persen dari produksi tahun lalu. Salah satu penyebabnya karena peredaran rokok elektrik atau vape.

"Penurunan sekitar 2 persen dari produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) tahun lalu sekitar 60 miliar batang rokok," kata Senior Production Manager Kretek Operations Djarum, Slamet Rahardjo saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, pada 27 Desember 2017. 

Jika dihitung dari asumsi tersebut, maka penurunan produksi rokok 2 persen setara dengan sekitar 1,2 miliar batang. Dengan begitu, total produksi rokok SKT dan SKM di 2017 diperkirakan sekitar 58,8 miliar batang. Sayangnya Slamet mengaku tak memiliki data dampak rokok elektrik atau vape ke penjualan Djarum.

Slamet mengaku, penurunan produksi rokok tahun ini salah satunya dipengaruhi oleh maraknya penjualan rokok elektrik atau vape. Ada perubahan gaya hidup masyarakat yang beralih dari rokok kretek maupun rokok putih ke rokok elektrik.

"Mestinya sih ada pengaruhnya tapi belum signifikan karena kan baru 2 tahun ini beredar. Ada yang sekadar iseng-iseng coba vape, tapi ada yang beralih ke situ," Slamet menjelaskan.

Lebih jauh kata dia, perusahaan tidak memaksa konsumen untuk mengonsumsi rokok kretek maupun rokok putih. "Itu semua tergantung selera konsumen, suka vape atau kretek. Kami tidak bisa memaksa," paparnya.

Slamet mendukung langkah pemerintah mengenakan cukai bagi cairan rokok elektrik yang mengandung tembakau sebesar 57 persen per 1 Juli 2017.

"Vape dikenakan cukai tahun depan, cukup baik lah. Kami dukung kalau sama-sama memberikan tambahan penerimaan negara. Selagi peredarannya diawasi dengan cukai, itu fair," tegasnya.

Video Terkini