Sukses

Studi: Insiden Keamanan Siber Berpotensi Gerus Ekonomi RI Rp 482 T

Hasil studi juga menyebutkan, insiden keamanan siber juga kurangi kemampuan berbagai organisasi di Indonesia untuk manfaatkan peluang yang ada di era ekonomi digital.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil Studi Frost & Sullivan yang diprakarsasi oleh Microsoft mengungkapkan potensi kerugian ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh insiden keamanan siber dapat mencapai nilai USD 34,2 miliar atau sekitar Rp 482,92 triliun (asumsi kurs Rp 14.120 per dolar Amerika Serikat).

Angka tersebut setara dengan 3,7 persen jumlah total PDB Indonesia sebesar USD 932 miliar. Selain kerugian keuangan, insiden keamanan siber juga mengurangi kemampuan berbagai organisasi  di Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada di era ekonomi digital saat ini.

"Dengan tiga dari lima (61 persen) responden menyatakan bahwa perusahaan mereka telah menunda upaya transformasi digital karena khawatir terhadap risiko-risiko siber," ungkap Direktur Utama Microsoft, Haris Izmee dalam keterangan tertulis seperti ditulis Minggu (27/5/2018).

Namun, transformasi digital akan semakin penting bagi perusahaan dengan diumumkannya rencana kerja 'Making Indonesia 4.0' oleh Presiden Joko Widodo dan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Hal ini bisa menjadi hambatan bagi setiap perusahaan di Indonesia untuk dapat menyelaraskan strategi berdasarkan rencana kerja tersebut.

Studi yang berjudul 'Understanding the Cybersecurity Threat Landscape in Asia Pacific: Securing the Modern Enterprise in a Digital World' bertujuan untuk membagikan sudut pandang mendalam bagi pengambil kebijakan bisnis dan TI mengenai kerugian ekonomi oleh serangan siber di Asia dan Indonesia, dan mengidentifikasi celah pada strategi keamanan siber. 

Studi tersebut melibatkan 1.300 pimpinan bisnis dan TI dari organisasi skala menengah (250-499 pekerja) hingga organisasi skala besar (> dari 500 pekerja).

Studi tersebut menunjukkan hampir setengah dari seluruh organisasi yang disurvei di Indonesia telah mengalami insiden keamanan siber (22 persen) atau tidak yakin telah mengalaminya karena perusahaan tidak melakukan penelitian dengan benar atau pemeriksaan pembobolan data (27 persen).

"Ketika berbagai perusahaan kini menyambut peluang-peluang yang ditawarkan oleh komputasi awan dan mobile untuk menjalin hubungan dengan pelanggan dan mengoptimalkan operasi  perusahaan, mereka menghadapi risiko-risiko baru," kata dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Dengan batasan-batasan teknologi informasi yang semakin menghilang, penjahat siber kini menemukan sasaran baru untuk diserang. 

"Perusahaan menghadapi resiko kerugian finansial yang signifikan, dampak buruk pada sisi kepuasan pelanggan, dan penurunan reputasi di pasaran, seperti yang telah terlihat secara jelas pada kasus-kasus serangan tingkat tinggi belakangan ini," ujar dia.

Managing Director Frost & Sullivan Malaysia dan SVP Frost & Sullivan Asia-Pacific, Hazmi Yusof mengatakan selain kerugian langsung ada banyak kerugian-kerugian tersembunyi lainnya yang harus dipertimbangkan dari sisi indirect, induced, dan kerugian ekonomi setiap  organisasi yang mengalami serangan keamanan siber seringkali diabaikan.

Selain kerugian keuangan yang berhubungan langsung dengan sebuah serangan keamanan siber termasuk kerugian produktivitas, denda, biaya perbaikan, terdapat pula kerugian tidak langsung seperti hilangnya peluang bagi perusahaan untuk menjalin hubungan baik dengan pelanggan karena kehilangan reputasi.

Tak hanya itu, dampak serangan siber pada ekosistem dan ekonomi yang lebih luas, seperti menurunnya jumlah pengeluaran pelanggan dan perusahaan.

Studi tersebut menunjukkan sebuah organisasi berskala besar di Indonesia kemungkinan dapat mengalami kerugian ekonomi sebesar USD 16,3 juta, atau 200 kali lebih besar dibandingkan kerugian ekonomi rata-rata sebuah organisasi skala menengah.

Selain itu, serangan siber telah menyebabkan kehilangan pekerjaan pada beragam fungsi di hampir tujuh dari sepuluh (69 persen) organisasi yang mengalami serangan selama 12 bulan terakhir.

"Meskipun kerugian langsung serangan siber merupakan yang paling nyata, hal tersebut hanyalah seperti ujung puncak gunung es (iceberg)," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Â