Liputan6.com, Jakarta - Sejak imbauan larangan ujaran kebencian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) dirilis pada 18 Mei 2018, Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah menerima pengaduan masyarakat atas keterlibatan PNS dalam aktivitas penyebaran berita palsu atau hoaks dan ujaran kebencian.
Kepala Biro Humas BKN, Mohammad Ridwan mengungkapkan, pengaduan yang dihimpun dari data LAPOR-BKN hingga Mei 2018, tercatat ada 14 aduan yang melibatkan PNS.
Advertisement
Baca Juga
"Dominasi terlapor paling banyak berprofesi sebagai dosen ASN. Selanjutnya diikuti oleh PNS pemerintah pusat, PNS pemerintah daerah (pemda) dan guru," kata dia di Jakarta, Jumat (8/6/2018).
Ridwan menjelaskan, aduan yang bermuatan penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang diterima disertai dengan lampiran bukti, berupa posting-an di media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
"Selain itu, posting-an konten berita palsu di media sosial dan dugaan keterlibatan sebagai simpatisan pada organisasi yang dilarang pemerintah," tegasnya.
Untuk diketahui, BKN telah mengeluarkan surat Kepala BKN Nomor K.26-30/v.72-2/99 kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah perihal Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS.
Meneruskan dari Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 137 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi PNS.
Kedua surat tersebut mengakomodir imbauan bagi seluruh PNS pusat dan daerah untuk menjalankan fungsinya sebagai perekat pemersatu bangsa sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN atau PNS dan diminta secara bijak dalam penggunaan media sosial, khususnya untuk penyebarluasan informasi dan dilarang terlibat aktivitas ujaran kebencian.
Bakal Dijatuhi Hukuman Berat
Kepala Badan Kepagawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, pada 31 Mei 2018, telah menandatangani Surat Edaran (SE) Nomor: K.26-30/V.t2-2/99 mengenai Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS. Dalam surat edaran ini, bagi PNS yang melanggar larangan dengan menyebar ujaran kebencian, maka akan dijatuhi hukuman berat.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Daerah.
Melalui surat tersebut, Kepala BKN mengimbau mereka untuk membina PNS di lingkungannya agar bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dan peka terhadap perubahan situasi dan kondisi di lingkungannya yang mengarah pada terjadinya potensi konflik sosial.
“Seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Daerah diminta untuk menyampaikan kepada PNS di lingkungannya adanya larangan menyebarluaskan berita yang berisi ujaran kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” bunyi poin b nomor 2 Surat Edaran itu, seperti dikutip dari laman resmi Setkab, Jakarta, pada 4 Juni 2018.
Seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Daerah, diminta Bima, agar membina dan mengawasi seluruh PNS termasuk Calon PNS di lingkungannya agar tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang teguh pada 4 (empat) pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam hal terjadi indikasi adanya aktivitas dan kegiatan yang mengarah atau berpotensi mengganggu ketertiban dalam pelaksanaan tugas di lingkungannya, menurutnya, harus ditindaklanjuti dengan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bima menegaskan, PNS yang terbukti menyebarkan berita hoaks yang bermuatan ujan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu pelanggaran disiplin dan dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Advertisement
Selanjutnya
Pelanggaran disiplin sebagaimana dimaksud dalam surat tersebut, antara lain berupa:
a. menyampaikan pendapat di muka umum baik secara lisan maupun tertulis, yang dilakukan secara langsung maupun melalui media sosial atau media lainnya seperti spanduk, poster, baliho yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Pemerintah
b. menyampaikan pendapat di muka umum baik secara lisan maupun tertulis, yang dilakukan secara langsung maupun melalui media sosial atau media lainya seperti spanduk, poster, baliho yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
c. menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b baik secara langsung maupun melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, regran, dan sejenisnya)
d. mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Pemerintah
e. mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Pemerintah
f. menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf d dan huruf b dengan memberikan likes, love, retweet, atau comment di media sosial.
“Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dijatuhi hukuman disiplin berat dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan,” bunyi poin b nomor 7 Surat Edaran Kepala BKN itu.
Adapun pelanggaran terhadap huruf e dan huruf f, menurut Surat Edaran tersebut, dijatuhi hukuman disiplin sedang atau ringan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan.
Tembusan surat edaran tersebut disampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.