Liputan6.com, London - Harga minyak mentah dunia naik dipicu rencana pertemuan OPEC pada minggu ini yang diprediksi akan meningkatkan produksi. Pendorong lain, investor menilai dampak besar dari perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
Melansir laman Yahoo Finance, Selasa (19/6/2018), harga minyak mentah AS naik tipis 43 sen per barel menjadi US$ 65,49. Kontrak sebelumnya minyak AS diperdagangkan pada level terendah dua bulan di US$ 63,59 per barel.
Baca Juga
Adapun harga minyak mentah Brent (LCOc1) melonjak sebesar US$ 1,55 menjadi US$ 74,99 per barel.
Advertisement
Dengan demikian, diskon minyak mentah AS ke Brent (WTCLc1-LCOc1) melebar hingga US$ 9,73 per barel, setelah mempersempit pada Jumat pekan lalu.
Kebijakan pembatasan perdagangan AS terhadap China dapat membuat volume minyak mentah AS yang meningkat tak memiliki pembeli, menurut para pedagang. Sementara bila minyak ini dikirim ke tempat lain, bisa membuat harganya tertekan.
Pada bulan Mei, harga minyak mentah Brent sempat mencapai posisi tertinggi dalam 3-1/2-tahun di atas US$ 80 per barel. Namun harga kembali meluncur turun sejak keluarnya laporan bahwa pemasok utama Arab Saudi dan Rusia akan meningkatkan produksi.
"Volatilitas akan cukup tinggi minggu ini," kata Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho di New York.
Menurut dia, indikasi nggota OPEC dan produsen besar lainnya meningkatkan produksi potensial cenderung mendorong pasar.
"Harga minyak membalikkan kelemahan pagi ini karena produsen memasuki keributan menjelang pertemuan OPEC/non-OPEC pada minggu ini," kata Stephen Brennock, analis di London broker PVM Oil Associates.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen minyak sekutu termasuk Rusia akan bertemu pada 22 Juni di Wina. Rusia dan Arab Saudi mendorong produksi yang lebih tinggi.
Selama akhir pekan, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengindikasikan negara-negara, yang telah memangkas produksi, tengah mempertimbangkan peningkatan produksi sebesar 1,5 juta barel per hari (bpd) pada kuartal ketiga, seperti kantor berita TASS melaporkan.
Namun setiap kesepakatan peningkatan produksi dapat diredam karena anggota OPEC lainnya termasuk Irak mengatakan pekan lalu bahwa pemotongan produksi harus dipertahankan karena harga masih memerlukan dukungan.
Meningkatnya produksi dari minyak AS juga telah memicu kekhawatiran tentang potensi kelebihan pasokan.
Potensi Perang Dagang dan Prediksi Analis
Hal yang menambah tekanan ekstra terhadap harga minyak adalah ketegangan perdagangan global. Presiden AS Donald Trump minggu lalu mendorong penetapan tarif bagi US$ 50 miliar impor Cina, mulai 6 Juli.
Cina membalas dengan mengatakan akan memberlakukan bea impor pada produk AS, dan menyarankan pengenaan pada tarif minyak mentah.
Benjamin Lu dari Phillip Futures mengatakan pembalasan Beijing telah menakuti para investor minyak. "Langkah-langkah hukuman pada perdagangan bilateral ini telah membuat investor terkesima karena melukai pertumbuhan ekonomi global," kata dia.
Ekspor minyak AS telah meledak dalam dua tahun terakhir karena produksi minyak serpih yang melonjak, dengan China menjadi salah satu pembeli terbesar.
Meskipun potensi tekanan dari produsen besar bisa meningkatkan output, Goldman Sachs mempertahankan prospek bullish. Bank ini menilai pasar minyak akan tetap defisit dan membutuhkan langkah OPEC yang lebih tinggi dan produksi Rusia untuk menghindari kehabisan stok pada akhir tahun.
Bank berharap output minyak OPEC dan Rusia naik 1 juta bph pada akhir tahun dan 0,5 juta bph lainnya di paruh pertama tahun 2019.
Sementara Societe Generale mengatakan mereka mengharapkan Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait untuk meningkatkan produksi gabungan 500 ribu barel per hari pada Juli, dan Rusia meningkat 200 ribu barel per hari dalam dua hingga tiga bulan.
"Fokusnya adalah mengganti kerugian Venezuela," kata bank itu.
Advertisement