Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan aturan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final baru sebesar 0,5 persen bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Kebijakan ini dapat menjadi insentif dan merangsang pelaku UMKM terus tumbuh dan tidak menjadi momok.
Aturan mengenai tarif pajak UMKM ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Aturan ini sebagai pengganti atas PP Nomor 46 Tahun 2013.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, revisi aturan pajak UMKM ini merupakan bukti pemerintah peka dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi pelaku UMKM. Pengaturan di PP ini juga lebih komprehensif dan mengedepankan sisi regulatif yang kuat demi memberi keadilan dan kepastian hukum.
"Penurunan tarif dari 1 persen menjadi 0,5 persen diharapkan dapat meringankan pelaku UMKM karena membantu menjaga cash-flow sehingga dapat digunakan sebagai tambahan modal usaha," kata Yustinus dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (22/6/2018).
Yustinus menghitung, penurunan tarif pajak UMKM ini akan menggerus penerimaan pajak dalam jangka pendek, kurang lebih Rp 2,5 triliun setahun. Akan tetapi, insentif pajak ini selain bentuk pengorbanan, menurutnya, dapat menjadi investasi pemerintah karena dalam jangka menengah-panjang.
"Karena diharapkan akan terjadi penambahan basis pajak melalui bertambahnya jumlah wajib pajak baru sebagai akibat dari kebijakan," tuturnya.
Paling penting lainnya dari tarif baru tersebut, Yustinus menambahkan, sifatnya opsional karena memberi kesempatan wajib pajak memilih skema final atau skema normal, sesuai kondisi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi rasa keadilan. Grace period yang diberikan antara 3-7 tahun untuk memanfaatkan skema ini juga dinilai cukup untuk mengedukasi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik.
Selain itu, sambungnya, juga menutup celah untuk melakukan penghindaran pajak melalui skenario menjadi pelaku UMKM “abadi” dengan memecah usaha. PP ini memberi ruang pelunasan pajak dengan pemotongan pihak lain agar memudahkan secara administrasi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi seperti di sektor perdagangan elektronik.
Selanjutnya
Yustinus menyarankan, agar kebijakan tarif pajak UMKM 0,5 persen menuai sukses, pemerintah harus melakukan kampanye dan sosialisasi secara masif dan terkoordinasi dengan baik, antara lain dengan melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda), otoritas moneter, asosiasi usaha, lembaga keuangan, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.
Kebijakan ini harus dijadikan instrumen membangun saling percaya agar meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak di masyarakat. Tak berhenti di situ, fasilitas berupa sistem akuntansi UKM yang lebih sederhana dan ramah, aplikasi pembukuan, sistem pembayaran dan pelaporan pajak, dan prasarana teknologi informasi yang mumpuni patut mendapat perhatian lebih besar.
"Meningkatkan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan sektor UMKM ini, terutama didahului penyuluhan, sosialisasi, edukasi, dan bimbingan, lalu penegakan hukum yang selektif dan terukur agar menciptakan dampak kepatuhan," terangnya.
Sasaran penegakan hukum adalah wajib pajak yang berlindung di balik kebijakan pajak UMKM demi kepentingan pribadi dan mengelabuhi negara. Khusus untuk sektor e-commerce, ini adalah momentum yang tepat untuk segera menerbitkan aturan pajak e-commerce yang jelas dan adil.
"Kebijakan ini menegaskan bahwa pemerintah peka, tidak agresif dan zalim terhadap masyarakat wajib pajak sebagaimana sering dituduhkan. Sebaliknya, pemerintah berbaik hati dan memberikan perhatian pada pelaku UMKM setelah memberikan tax holiday bagi perusahaan menengah atas di banyak sektor," paparnya.
Advertisement