Liputan6.com, Jakarta - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) meluncurkan hasil penelitian terkait efek konsumsi rokok terhadap kemiskinan dan kejadian stunting di Indonesia. Salah satu hasil yang didapatkan, perilaku merokok turut berdampak pada sisi biaya belanja rokok, yang membuat orangtua seakan mengabaikan masa depan sang anak serta mempertinggi probabilitas angka rumah tangga miskin di masa mendatang.
Dalam peluncuran hasil penelitian yang berlangsung di Ruang Venezia, Four Points, Jakarta, Senin (25/6/2018), Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teguh Dartanto yang juga menjadi pembicara mengatakan bahwa konsumsi rokok meningkat 2 persen dari 1993-2014.
Advertisement
Baca Juga
"Menurut data rumah tangga yang sama dari 1993 sampai 2014, konsumsi proporsi rokok meningkat 2 persen. Peningkatan pengeluaran rokok diikuti dengan proporsi penurunan konsumsi makanan, seperti karbohidrat, ikan dan daging," jelas dia.
Mengacu data Indonesia Family Life Survey (IFLS), pengeluaran rumah tangga untuk rokok mengalami kenaikan dari 3,6 persen pada 1993 menjadi 5,6 persen pada 2014. Kenaikan tersebut dibarengi penurunan pengeluaran penting, seperti makanan sumber protein (ikan dan daging) dari 10,1 persen (1993) jadi 6,8 persen (2014), serta sumber karbohidrat dari 8,6 persen (1993) menjadi 7,3 persen (2014).
Teguh menilai, kebiasaan merokok ini mempunyai dampak untuk masa depan generasi muda selanjutnya. Bukan hanya karena alokasi belanja rumah tangga yang tergerus saja, tapi juga pengaruhnya terhadap kecerdasan seseorang yang gemar merokok sedari dini.
"Merokok yang sifatnya adiktif ini punya dampak untuk masa depan generasi selanjutnya. Prevelensi perokok usia muda yang umurnya 21-30 tahun terus meningkat. Salah satu yang dikorbankan adalah makanan, sehingga kualitas (anak) akan rendah. Kualitas rendah akan mempengaruhi kecerdasan dan produktifvitasnya yang juga akan rendah," tutur dia.
Â
Menyeret pada Kemiskinan
Adapun menurut acuan IFLS pada 2014, hampir 32 persen populasi di Tanah Air adalah perokok aktif. Sedangkan prevelensi perokok usia muda mengalami peningkatan signifikan selama kurun waktu 1993-2014.
Perokok usia 11-20 tahun mengalami peningkatan dari 1,79 persen (1993) menjadi 7,73 persen (2014). Sementara itu, prevelensi perokok usia 21-30 tahun juga melonjak dari 14,5 persen (1993) menjadi 23,6 persen (2014).
Selain itu, IFLS pun melansir, pengeluaran rokok di masa lalu juga berkaitan dengan kemiskinan di masa mendatang. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin baik sebesar 6 persen. Hal itu diduga karena pengeluaran rokok menyebabkan rumah tangga menggeser pengeluaran yang sifatnya produktif dan investasi sumber daya manusia.
*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di Liputan6.com.
Advertisement