Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai momen Lebaran dan Pilkada serentak pada tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakat. Terbukti dengan lonjakan inflasi yang cukup tajam dari bulan sebelumnya.
Peneliti Indef, Esa Suryaningrum mengatakan, inflasi Lebaran tahun ini merupakan terendah dalam empat tahun terakhir. Namun, peningkatan dari bulan sebelumnya cukup tinggi.
"Inflasi Mei 0,21 persen, kemudian melonjak di Juni 0,88 (jadi 0,59 persen). Jadi lonjakannya sangat tajam," kata Esa dalam sebuah acara diskusi di kawasan Pasar Minggu, Selasa (3/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
Esa mengungkapkan lonjakan paling signifikan terjadi pada sektor transportasi dan bahan makanan. Inflasi transportasi tidak bisa dihindari sebab pada momen arus mudik dan arus balik otomatis harga tiket menjadi lebih mahal dibanding hari biasa. Begitu pun inflasi pada bahan makanan tidak dapat dicegah karena pada momen tersebut permintaan meningkat cukup drastis.
"Inflasi transportasi dari 0,18 persen jadi 1,50 persen, ini luar biasa 1,32 persen naiknya," ujar dia.
Meskipun inflasi relatif rendah dibandingkan tahun lalu, Esa menyatakan, inflasi Mei ke Juni sangat tajam lonjakannya.
"Daya beli masyarakat tentunya bukannya menguat malah melemah karena lonjakan inflasi Mei ke Juni melonjak tajam,” tutur dia.
Esa menjelaskan, jika daya beli masyarakat melemah maka laju pertumbuhan ekonomi pun akan terhambat.
"Adanya faktor Pilkada dan Lebaran yang bisa jadi mesin untuk mendongkrak konsumsi ternyata tidak, karena daya belinya melemah,” kata dia.
Sementara itu, Peneliti Indef, Eko Listiyanto menyatakan, perekonomian pasca Pilkada meleset dari prediksi.
"Dilihat dari berbagai indikator ternyata realisasinya banyak yang meleset," ujar dia.
Salah satunya adalah inflasi yang banyak diprediksi pada kisaran 0,3 persen. Namun, pada kenyataanya inflasi Juni mencapai angka 0,59 persen. "Jangan-jangan terjadi goal di injury time. Ketika arus balik mereka bisa menjadi sangat gila-gilaan inflasinya."
Eko juga menyoroti jomplangnya perbedaan kenaikan inflasi dengan Nilai Tukar Petani (NTP). Artinya, kenaikan harga bahan pangan tidak dinikmati oleh para petani. "NTP angkanya Alhamdulillah naik (meski hanya) sepersepuluhnya naiknya cuma 0,05 persen. Inflasinya naik jadi 0,59 persen,” kata Eko.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Sektor Ritel Mulai Pulih pada 2018
Sebelumnya, kinerja sektor ritel pada kuartal l 2018 masih belum menunjukkan perbaikan. Pada dua bulan awal 2018, pertumbuhan ritel melambat, dan hanya tumbuh sekitar 1 persen hingga 1,5 persen.
Namun demikian, Executive Director Nielsen Company Indonesia Yongky Susilo menilai, pertumbuhan ritel mulai membaik dalam dua bulan belakangan. Hal tersebut ditandai dengan ada kenaikan impor untuk perdagangan.
"Tahun lalu landai, tahun ini strong. April sudah mulai pulih, Mei awal positif. Kami minta pemerintah gelontorkan bantuan. Kunci paling penting adalah impor. Sekarang sudah mulai lancar, impor jalan. Semua orang sudah mulai lancar berdagang," ujar Yongky di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu 23 Mei 2018.
Yongki mengatakan, pertumbuhan ritel juga didorong oleh penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat sesuai target waktu yang telah ditetapkan.
"Dari awal tahun kita sampaikan kepada pemerintah, kalau mau retail tumbuh, bantuan cepat disalurkan. Orang pasti belanja, jadi daya beli tumbuh," ujar dia.
Yongki menambahkan, upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ritel melalui penyaluran bantuan diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ritel secara keseluruhan pada 2018. Jadi ritel yang masih bertahan dapat mengembangkan lini bisnisnya.
"Kita yakin dengan berbagai upaya mendorong pertumbuhan retail dan mendorong konsumsi, pertumbuhan ritel kuartal II dapat lebih baik. Secara tahunan juga pasti akan terpengaruh," kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement