Sukses

Mantan Dirut Ini Ingin PLN Mengenal Pelanggan lewat Inovasi Teknologi

Mantan Dirut PLN membicarakan perkembangan teknologi dan kaitannya dengan PLN. Beberapa yang ia bahas adalah data analytics, blockchain, sampai sensor IoT.

Liputan6.com, Jakarta - Walaupun telah pensiun dari jabatannya sebagai Direktur Utama PLN, ternyata Eddie Widiono masih sigap melihat perkembangan teknologi dan bagaimana memanfaatkannya demi keuntungan PLN dan masyarakat.

Eddie menyebut agar fokus listrik tidak melulu hanya di bidang pembangkit saja, maka harus ada hal lain yang perlu diperhatikan, seperti perkembangan teknologi untuk mengembangkan jaringan cerdas (smart grid).

Ia mengatakan bila negara dan PLN tak siap, maka laju inovasi justru dapat menjadi bumerang.

"Tren digitalisasi ini mengerikan, karena kita terlambat di bidang digitasi, maka ada kesenjangan antara perkembangan teknologi di luar, menciptakan gap. Kesenjangan ini bisa dimasuki oleh mereka yang lebih berkembang lewat digitalisasi. Jadi, mereka bisa masuk sebagai disruptive technology," paparnya pada Liputan6.com, seperti dikutip Sabtu (7/7/2018).

Ia mengambil contoh pentingnya peran digitalisasi dengan membandingkannya dengan Google. Sebagai contoh data analytics yang dilakukan Google bisa membuatnya mengenal pelanggan, dan menurut dia PLN harus melakukan pendekatan serupa agar mengenal pola pelanggan.

"Google itu melakukan data profiling. Tiap hari kita mau ngapain dia tahu. Dengan data yang banyak mereka bisa tahu kebiasaan Anda. Itulah customer-centric tools. Sekarang bila (PLN) cek ID pelanggan, yang muncul nomor dan lokasi. Siapa yang pakai, pekerjaannya apa, dipakai buat apa, mereka tak tahu," jelas Eddie.

Mantan Dirut PLN selama dua periode yang saat ini aktif sebagai Chairman of the Board Trustees di Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) turut memberikan kritik akan PLN yang dianggap menjual listrik tanpa mendayagunakan data yang mereka miliki. Padahal, PLN termasuk penyedia listrik dengan pelanggan terbesar.

Ia menjelaskan bahwa bila PLN mengenal perilaku pelanggan, maka mereka dapat melakukan efisiensi tenaga. Dengan cara itu, otomatis mereka dapat menyesuaikan kapasitas operasi pembangkit listrik sesuai waktu pemakaian pelanggan.

Eddie juga khawatir karena Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan China sudah duluan mengarah ke perkembangan jaringan cerdas (smart grid) dengan penanaman modal yang cukup besar. Namun, ia menyebut bahwa Indonesia tidak perlu mengikuti pihak-pihak tersebut.

"Apa kita harus ikuti sistem Amerika yang mengurus sistem legalnya dulu? Atau Eropa yang membangun platform dan mendorong industri? Atau China dengan pemerintahnya yang kuat? Tidak, kita harus mengembangkan sistem sendiri," ucapnya.

2 dari 3 halaman

Butuh Platform untuk Mencoba dan Arah Baru

Eddie mengakui perlu proses yang cukup panjang, seperti dalam hal pendanaan, insentif, Sumber Daya Manusia (SDM), dan cybersecurity. Hal lainnya adalah kebutuhan tempat-tempat untuk melakukan percobaan terhadap penerapan teknologi terbaru.

"Yang paling berat itu adalah tarifnya bisa berubah nggak? Inilah mengapa butuh sandbox, yaitu area-area percobaan, di mana mereka diberi kesempatan untuk diberi kelunakkan aturan, sehingga di tempat tersebut dapat dipakai (untuk berinovasi). Kalau tak begitu, bagaimana kita melakukan justifikasi investasi?" jelasnya.

Yang sekarang diperlukan, menurut dia, adalah arah baru. Agar tidak terus menerus terjebak dalam pola pikir lama seperti masalah pembangkit listrik terus-terusan.

"Kita membutuhkan arah baru, jangan lagi deh kita konsentrasi ke pembangkitan, karena kita dengan mudah kesusupan hal-hal lain (di bidang teknologi)," jelasnya.

Dengan arah baru, ia mengharapkan adanya efisiensi yang kuat, terutama dengan bantuan teknologi. Lebih lanjut, dia berharap agar teknologi tetap ditekankan dalam rencana nasional untuk membangun daerah-daerah dari pinggiran.

"Jadi kalau membangun di pulau-pulau terpencil, itu pun di sana sudah banyak orang-orang memakai handphone. Makanya, kalau bangun fasilitas listrik di pinggiran, harus lompat kodok, di sana harus lebih modern. Listrik itu kan tak sekadar untuk anak senang, tapi ekonomi juga. Jadi, meskipun pendekatannya dari daerah pinggir, teknologinya tetap harus dikunci (diperhatikan)," dia menandaskan.

3 dari 3 halaman

Bicara Panel Surya, Blockchain, dan Sensor IoT

Selain digital profiling yang menurut Eddie harus diadaptasi PLN, hal lain yang ia sorot adalah teknologi blockhain, panel surya, dan Internet of Things (IoT).

Ia menjelaskan blockchain yang dapat dipakai untuk beberapa perusahaan, seperti hotel, untuk membeli sertifikat hijau. Sebab, PLN belum mencapai target dekarbonisasi dan energi terbarukan.

"Misal, hotel (yang berlokasi di Indonesia) ingin menjadi eco-green. Tapi nanti ditanya listrik dari mana, nanti mereka bisa membeli sertifikat green economy lewat blockhain," jelasnya.

Perkembangan panel surya pun turut diperhatikan oleh Eddie. Ia mencontohkan AS yang mulai terganggu panel surya, sebab inovasi tersebut bisa mengganggu industri listrik di sana. Maka dari itu, Eddie berharap PLN mulai melakukan sinergi terkait potensi pemakaian panel surya.

Tak lupa, ia membahas perkembangan sensor-sensor yang diperkuat Internet of Things (IoT). Sebab, pada 2020 nanti smart appliances akan populer, dan sensor akan dipasang di miliaran benda.

"Kalau kita melihat ke Malaysia, itu mereka mengirim 200 orang untuk mempelajari sensor, sekarang orang-orang itu sudah pulang dan mereka diarahkan harus menjadi pemimpin di bidang sensor. Karena sensor ini miliaran jumlahnya akan tersebar di appliances pada 2020," jelasnya.

Ia juga membandingkan kondisi di Singapura yang mengembangkan sensor bau untuk memonitor sampah-sampah. Bahkan, ada juga sensor bau untuk mencium kebocoran gas LPG.

"Dalam teknologi kita harus cepat, atau kita bisa ketinggalnya," pungkasnya, seraya berharap dapat membangun kolaborasi antara Kaum Milenial dan PJCI dalam berinovasi.

Â