Sukses

Olah Limbah Serbuk Kayu, Startup Asal Bandung Tembus Pasar Eropa

Mycotech memproduksi hasil olahan limbah pertanian lewat bengkel kerja yang berlokasi di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Liputan6.com, Jakarta Berbagai perusahaan startup dalam negeri kini terus menjamur untuk memulai tajinya mengembangkan usaha bisnis dengan menawarkan suatu pembaharuan.

Seperti yang dilakukan PT Miko Bahtera Nusantara atau kerap disebut Mycotech, startup asal Bandung yang berinovasi dengan limbah pertanian dan berhasil menyentuh pasar Eropa lewat produk olahannya.

Pendiri Mycotech, Ronaldiaz Hartantyo mengatakan, pihaknya memang sengaja memanfaatkan limbah pertanian semisal serbuk kayu lantaran stoknya di dalam negeri sudah sangat berlimpah.

"Intinya, Mycotech adalah menumbuhkan material, bukan menambang material. Basisnya kita ngegunain limbah pertanian, terus diiket pakai jamur supaya bisa menciptakan material seperti dalam bentuk papan," ujar dia kepada Liputan6.com saat ditemui di Singapura, seperti dikutip Senin (23/7/2018).

Tidak hanya papan saja, tambahnya, hasil buangan industri agrikultural itu juga bisa digarap menjadi bahan dasar bagi produk-produk lain, semisal jam tangan dan kacamata.

"Tapi kita sekarang fokusnya ke papan. Kenapa kita milih papan, karena papan lebih versatile bisa dibentuk jadi banyak hal," terang dia.

Adapun Mycotech memproduksi hasil olahan limbah pertanian lewat bengkel kerja yang berlokasi di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

"Saat ini kita skala produksinya masih kecil, masih 150 meter persegi per bulan. Tapi rencananya kita mau bikin untuk bisa ngegedein sampai 500 meter persegi produksinya per bulan," jelas dia.

Ronaldiaz melanjutkan, semua hasil produksi itu diciptakan secara langsung lewat tangan para eksekutifnya yang berjumlah antara 8-12 orang.

Menurutnya, jerih payah dengan tangan sendiri itu dapat bermanfaat untuk terus berimprovisasi lantaran punya modal profit yang cukup.

"Kita sih encourage-nya kalau untuk startup jangan terlalu banyak ngabisin pengeluaran untuk operasional, jadi ngegaji karyawan kebanyakan. Fokusnya, gimana bisa ngebuat produknya jadi," dia mengungkapkan.

Pria lulusan Program Studi Arsitektur ITB ini juga menyampaikan, pada 2017 kemarin Mycotech berhasil meraup omzet sampai sekitar USD 300 ribu dengan menjual hasil produksinya.

Pencapaian itu membuat dia berambisi untuk memperbesar angka pendapatannya sampai akhir 2018.

"Untuk tahun ini di USD 500 ribu, atau sekitar Rp 6 miliar lah ya," harap dia.Raihan tersebut pun turut didukung oleh pangsa pasar Mycotech yang sudah menjangkau pasar di negara-negara Uni Eropa.

"Saat ini sih kebanyakan partner kita tuh di Eropa. Market di sana sudah mature, dan kita didukung oleh regulasinya, karena mereka ada pembatasan emisi buat building materials," pungkas dia.

2 dari 2 halaman

Daftarkan Hak Paten di Singapura

PT Miko Bahtera Nusantara atau yang juga disebut Mycotech kini terus gencar mengembangkan produk hasil limbah pertaniannya ke pasar luar negeri.

Perseroan pun turut menerbitkan hak patennya di Singapura, lantaran menilai perlindungan kekayaaan intelektual atau Intellectual (IP) Protection di Indonesia masih lemah.

Ronaldiaz Hartantyo, menceritakan mimpi perusahaan ke depan yang hendak menjual teknologi hasil inovasi temuan kepada pasar industri.

"Kita enggak pengen cuma jualan komoditas aja, tapi pengennya jualan license technology atau jual teknologinya," ungkap dia.

Dia menambahkan, Mycotech membutuhkan hak paten yang jelas. Tujuan itu sulit untuk tercapai di Indonesia karena negara dinilainya belum mendukung keberadaan IP Protection secara pasti.

"Makanya sekarang kita bikin patennya di Singapura, supaya bisa lebih mengembangkan patennya ke ranah internasional," jelas dia.

Selanjutnya, Ronaldiaz menyatakan, bila pihaknya sudah memiliki hak paten maka itu akan mempermudah langkah Mycotech untuk mengembangkan usahanya di banyak tempat.

"Kita pengennya tiap tempat yang punya limbah pertanian itu harusnya bisa ngembangin materialnya sendiri," ujar dia.

"Mimpi kita tuh adalah, local commodities can use their own local agriculture wastes, to grown their own local materials, to build their own local commodities," Ronaldiaz mengakhiri.

Video Terkini