Sukses

Ekonomi China Tumbuh 6,7 Persen pada Kuartal II 2018

Pertumbuhan ekonomi China lebih lambat pada kuartal II 2018 lantaran pemerintah berupaya atasi risiko utang.

Liputan6.com, Beijing - China mencatatkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen pada kuartal II 2018. Angka ini lebih rendah dari kuartal I 2018 sebesar 6,8 persen.

Pertumbuhan ekonomi China melambat pada kuartal II 2018 seperti yang diperkirakan. Hal itu didorong upaya pemerintah untuk atasi risiko utang, mengintensifkan perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) dengan mengancam ekspor.

Berdasarkan survei Reuters, analis perkirakan ekonomi tumbuh 6,7 persen pada April-Juni 2018. Data aktivitas Juni juga menunjukkan momentum melambat. Hal itu mendukung pandangan kalau pertumbuhan sedang kurang bergairah. Sejumlah analis pun menyerukan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah mendukung ekonomi.

"Mereka perlu perlambat sedikit develaraging keuangan dan untuk mengubah fokus mereka lebih pada langkah-langkah mendukung pertumbuhan, misalnya meningkatkan likuiditas melalui pemangkasan persyaratan cadangan bank," ujar Ekonom ING, Iris Pang, seperti dikutip dari laman Reuters, Senin (16/7/2018).

“Jika situasinya memburuk jauh lebih cepat dari apa yang kami harapkan. Saya pikir pemerintah China perlu meningkatkan langkah-langkah pendukung baik fiskal dan moneter,” tambah dia.

Adapun pertumbuhan investasi aset tetap mencapai rekor terendah. Sementara hasil produksi untuk Juni menyamai tingkat pertumbuhan yang melambat dalam lebih dari dua tahun sekitar 6 persen dan meleset dari perkiraan pusat di kisaran 6,5 persen.

Secara kuartalan, pertumbuhan naik 1,8 persen dari 1,4 persen pada kuartal I 2018. Ini mengalahkan harapan pasar sebesar 1,6 persen.

 

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Ekonomi terbesar kedua di dunia ini telah merasakan dampak dari tindakan keras terhadap pinjaman berisiko yang mendorong biaya pinjaman perusahaan. Hal itu mendorong bank sentral untuk memompa lebih banyak uang tunai dengan memangkas persyaratan cadangan bagi pemberi pinjaman.

Data pada Jumat menunjukkan ekspor China tumbuh cepat pada Juni meski analis perkirakan pengiriman jelang tarif impor yang diberlakukan. Lebih mengkhawatirkan, surplus perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) mencapai rekor tertinggi pada bulan lalu. Hal itu akan membuat tarif menyakitkan dengan pemerintahan AS dalam waktu lama.

Pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump akan mengenakan tarif impor 10 persen terhadap barang China senilai USD 200 miliar ini termasuk barang-barang konsumsi.

Selain itu, data ekonomi lainnya menunjukkan kalau penjualan ritel naik 9 persen pada Juni dari tahun sebelumnya. Ini sejalan dengan perkiraan pasar.

Dihadapkan dengan perlambatan permintaan domestik dan potensi perang dagang, para pembuat kebijakan China telah mulai meningkatkan dukungan kebijakan untuk ekonomi dan melunakkan sikap soal develeraging atau langkah institusi yag berani ambil utang besar untuk mendorong pertumbuhannya.

“Ekonomi China akan melambat pada semester II karena risiko pasar keuangan menjadi jelas dan permintaan akan menurun,” ujar lembaga think thank SIC.

Sebelumnya bank sentral China telah memangkas persyaratan cadangan bank sebanyak tiga kali pada 2018 dengan gantikan penggunaan istilah develarging dengan structural develaraging. Ini perubahan yang menunjukkan pembatasan yang kurang keras terhadap utang.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: