Liputan6.com, Jakarta - Freeport McMoran, Rio Tinto dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah menandatangani Head of Agreement (HoA) pada Kamis pekan lalu. Langkah tersebut merupakan langkah awal untuk menguasai Freeport Indonesia.
Namun hal tersebut disayangkan beberapa pihak, karena terkesan terburu-buru tidak menunggu hingga habis kontrak pada 2021.
Terlebih holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan tersebut harus berutang agar dapat menggenapi saham menjadi 51 persen.
Advertisement
Head of Corporate Communication and Goverment Relation PT Inalum, Rendy Witoelar menjelaskan, Indonesia tidak bisa memiliki tambang Grasberg Papua, yang saat ini dikelola Freeport Indonesia secara gratis meski kontraknya sudah habis pada 2021.
Baca Juga
Sebab berdasarkan Kontrak Karya Pasal 22 ayat 1 menyebutkan, sesudah pengakhiran persetujuan berdasarkan pasal 22 ini atau pengakhiran persetujuan ini karena alasan berakhirnya jangka waktu persetujuan ini, semua kekayaan kontrak karya milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar, yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku.
Dengan begitu, pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport Indonesia yang bergerak maupun dengan nilai tidak lebih rendah dari book value atau disebut nilai buku. Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan yang diaudit ada di sekitar USD 6 miliar.
"Pemerintah pun wajib membeli pembangkit listrik yang di area tersebut senilai lebih dari Rp 2 triliun," kata Rendy, saat berbincang dengan Liputan6.com,dikutip di Jakarta, Senin (16/7/2018).
Rendy melanjutkan, dalam Kontrak Karya perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menafsirkan, berhak mengajukan perpanjangan masa operasi 2 kali 10 tahun setelah kontrak habis pada 2021.
Pemerintah pun tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda persetujuan secara tidak wajar. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 ayat 2 Kontrak karya.
Rendy menuturkan, jika pemerintah memutuskan mengambil alih Freeport Indonesia setelah masa kontrak habis pada 2021, dengan tidak memperpanjang kontrak maka berpotensi penyelesaian di arbitrase.
"Setelah 2021 kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," ujar dia.
Rendy melanjutkan, Indonesia berisiko tidak menangkan arbitrase. "Ini karena dalam Pasal Kontrak Karya tersebut tercantum kalimat "Pemerintah pun tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda persetujuan secara tidak wajar," ujar dia.
Caplok Saham Freeport, Inalum Tak Dapat Pinjaman dari Bank BUMN
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan kucuran kredit yang didapat oleh PT Indonesia Asaham Alumunium (Inalum) untuk mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia tidak berasal dari bank BUMN.
Deputi Jasa Keuangan, Survei dan Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan, tidak ada perbankan BUMN menyalurkan kredit ke Inalum. Tidak ada," kata Gatot seperti dikutip dari Antara, Senin 16 Juli 2018.
Gatot memastikan hal tersebut berulang kali. Dia mengatakan pinjaman yang diajukan Inalum untuk pembelian saham Freeport akan lebih banyak disalurkan oleh bank bukan milik pemerintah. Namun, Gatot tidak merinci entitas bank yang akan menjadi kreditur Inalum tersebut.
Sebelumnya, Inalum memastikan telah mendapat pinjaman dari bank untuk membeli saham Freeport Indonesia sebesar USD 3,85 miliar yang ditargetkan selesai dalam dua bulan.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ada 11 bank yang siap memodali Inalum untuk membeli saham Freeport Indonesia. Namun dia belum bisa menyebutkan 11 bank tersebut.
"Ada 11 bank yang siap membantu mendanai transaksi. Belum bisa bicara (bank-nya)," kata Budi, di Kantor Kementerian Keuangan pada Kamis 12 Juli 2018.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement