Liputan6.com, Jakarta - Ketakutan seperti akrofobia (takut pada ketinggian), katsaridaphobia (takut kecoa), dan germafobia (takut bakteri), sudah terkenal di kalangan banyak orang. Bila mengalami fobia, maka orang akan merasaka ketakutan tak wajar terhadap suatu hal, padahal menurut orang lain biasa saja.
Di samping semua itu, ternyata ada istilah yang cukup mengenaskan, yakni aporofobia, yang berarti ketakutan dan ketidaksukaan pada kemiskinan maupun orang-orang miskin. Aporos berasal dari kata Yunani berarti miskin.
Advertisement
Baca Juga
Dilansir dari The Local, penjelasan aporofobia diuraikan oleh Adela Cortina, profesor filsafat dari Universitas Valencia. Ia memakai istilah itu untuk memberi perbedaan pada xenofobia.
Xenofobia adalah ketakutan berlebih pada orang-orang asing. Tapi, Cortina menemukan ada orang-orang yang tidak benci orang asing bila mereka memiliki aset atau harta.
Situs Poverty and Social Exclusion menjelaskan, masalah dari kemiskinan tidak sekadar membuat orang susah membeli barang, melainkan memiliki pengaruh pada kemampuan partisipasi sosial, ekonomi, politik, dan kehidupan berbudaya. Sehingga, ada kurangnya partisipasi mereka dalam keputusan sipil, sosial, dan budaya.
Masih tentang kemiskinan, menurut World Hunger, ada 150 juta anak balita yang kena stunting pada 2017. Stunting merupakan salah satu indikasi utama dari kemiskinan. Belum lagi, ada 3,1 juta anak meninggal tiap hari karena kelaparan.
Bank Dunia menyebutkan tugas melawan kemiskinan ekstrem masih jauh dari selesai. Serta diperlukan upaya menjaga orang-orang yang baru keluar dari kemiskinan agar tidak kembali jatuh miskin.
Kemiskinan Indonesia Terendah Sepanjang Sejarah
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik merilis jika angka warga miskin di Indonesia turun dan mencapai posisi terendah sejak krisis moneter pada 1998.Â
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memberikan klarifkasi jika sebetulnya angka kemiskinan Indonesia turun ke posisi terendah sepanjang masa.
Itu disampaikannya pada diskusi media dengan tajuk 'Membedah Angka Kemiskinan Terkini' pada Kamis, 19 Juli 2018, di Gedung Bappenas, Jakarta.
"Sebenarnya kepala BPS bilang ini terendah setelah krisis (1998), padahal sepanjang masa. Terlihat pada Orde Baru terendah tahun 1996 (11,3 persen)," jelas Bambang.
"Angka 11,3 itu adalah terendah pas Orde Baru pas ekonomi sedang bagus-bagusnya. Pertumbuhan tujuh sampai delapan persen. Kemudian kita tahu ada krisis, lompatannya lumayan besar sampai 24 persen," tambah dia.
Mantan Menteri Keuangan tersebut mengungkapkan menurunkan angka kemiskinan bukan hal mudah. Namun, ia memastikan semua pihak konsisten berupaya menurunkan angka kemiskinan.
"Penurunannya tidak mudah. Lebih sulit sebelum krisis. Yang paling penting semua menurunkan. Kenaikan sedikit pada 2005-2006, sekitar 2014-2015 sempat landai, kemudian lalu turun lagi," jelasnya.
Turut dijelaskan, menurunkan angka kemiskinan jadi semakin menantang, sebab angkanya sudah semakin kecil, dan butuh langkah agar program pengentasan kemiskinan jadi tepat sasaran.
"Ketika kemiskinan itu makin rendah, makin sulit menurunkannya, karena makin sulit menjangkau siapa yang harus dijaga agar tidak miskin atau siapa yang agar keluar dari kemiskinan," kata dia.
Untuk target angka kemiskinan tahun depan, Bambang menyebut target berada pada kisaran delapan koma lima sampai sembilan koma lima persen.
"Tahun 2019 harapannnya itu delapan koma lima sampai sembilan koma lima persen. Harapannya sembilan persen lah, atau mudah-mudahan di bawah sembilan persen," tegas dia.
Advertisement