Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak melemah selama sepekan. Hal itu didorong sentime eksternal dan kinerja kapitalisasi pasar saham besar yang tertekan.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, IHSG melemah 1,2 persen dari posisi 5.944 pada Jumat 13 Juli 2018 menjadi 5.872 pada Jumat 20 Juli 2018.
IHSG melemah dipengaruhi yuan melemah seiring pertumbuhan ekonomi China melambat. Emiten berkapitalisasi pasar saham besar yang masuk indeks saham LQ45 susut 1,3 persen selama sepekan. Sedangkan kapitalisasi pasar saham emiten lapis kedua naik 1,3 persen pada Kamis pekan ini. Investor asing masih jual saham Rp 769,36 miliar (asumsi kurs Rp 14.516 per dolar Amerika Serikat).
Advertisement
Di pasar surat utang atau obligasi, indeks BINDO yang menunjukkan kinerja obligasi susut 1,1 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun berada di posisi 7,88 persen dari pekan sebelumnya 7,49 persen. Berbeda dengan aksi jual di pasar saham, investor asing beli obligasi senilai USD 54 juta atau sekitar Rp 782,44 miliar.
Baca Juga
Pada pekan ini, sentimen eksternal dan internal bayangi pasar keuangan global termasuk IHSG. Dari eksternal, Ashmore menyoroti soal perkembangan perang dagang.
Sejumlah direksi perusahaan otomotif memberikan kesaksian pada dengar pendapat yang diadakan Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS). Direksi tersebut menilai, tarif impor baru akan mengancam sektor tenaga kerja di AS, menaikkan harga kepada konsumen. Hal itu juga dapat mendorong Uni Eropa membalas dengan pajak impor sendiri.
Presiden Komisi Uni Eropa, Jean-Claude Juncker akan bertemu Presiden AS Donald Trump pada pekan depan.
Di sisi lain, China pun melanjutkan rencananya untuk membuka ekonominya.
Trump pun kembali jadi sorotan. Pertama kali dalam beberapa tahun, Presiden AS kritik bank sentral AS atau the Federal Reserve. Kenaikan suku bunga imbangi pertumbuhan yang dipicu pemerintah AS dengan memangkas pajak pada 2017.
Gedung Putih pun mengeluarkan pernyataan kalau Trump tak bermaksud mempengaruhi proses pengambilan keputusan the Fed. Powell menyatakan ekonomi cukup kuat bagi the Fed untuk melanjutkan kenaikan suku bunga usai berada di tingkat bunga di posisi terendah.
Namun, Trump khawatir kalau waktunya mungkin buruk dan akan membuat AS rugi sementara bank sentral lainnya yaitu Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang mempertahankan kebijakan moneter longgar.
Tiga bank utama di AS pun rilis kinerja keuangan bervariasi. Kinerja keuangan JP Morgan Chase mampu di atas harapan pelaku pasar. Sedangkan Citigroup dan Wells Fargo di bawah harapan.
Dari Asia, mata uang China yuan mampu menguat dari posisi terendah terhadap dolar Amerika Serikat. Ini terjadi di tengah-tengah bank China jual dolar AS untuk dukung mata uang dan harapan bank sentral China dapat suntikkan likuiditas.
Yuan turun 0,45 persen menjadi 6,7760 per dolar AS, yang merupakan level terendah sejak Juli 2017 pada Kamis pekan ini.
Sentimen Internal
Dari sentimen internal, Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate 5,25 persen. Kenaikan suku bunga 100 basis poin dalam dua bulan terakhir mendorong Indonesia cukup kompetitif untuk menarik dana investor asing masuk ke Indonesia.
BI pun sedang siapkan beberapa kebijakan untuk mendukung likuiditas lebih lanjut. Salah satunya memperkenalkan acuan baru untuk tarif over night.
Selain itu, BI juga akan kembali terbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor 9 bulan dan 12 bulan.
Penerbitan SBI sediakan instrument alternatif untuk arus investor asing dalam jangka pendek. “Namun kami melihat langkah ini juga dapat timbulkan risiko tambahan arus dana keluar selama kondisi bergejolak,” tulis analis Ashmore.
Indonesia juga catatkan neraca perdagangan surplus USD 1,7 miliar. Angka ini lebih tinggi dari konsensus USD 968 juta. Ini didorong faktor musiman lantaran impor non minyak dan gas cenderung turun USD 3 miliar selama Lebaran.
Secara keseluruhan, ekspor dan impor masing-masing tumbuh 11,5 persen dan 12,7 persen dibandingkan 15,6 persen dan 29,1 persen pada Mei 2018.
Sementara itu, kinerja bank besar di Indonesia mencatatkan hasil positif. Ini ditunjukkan dari kinerja BNI dan Bank Mandiri yang kalahkan estimasi pasar. Sektor bank sejauh ini melaporkan pertumbuhan laba bersih rata-rata 19 persen secara year on year.
Advertisement
4 Hal yang Perlu Dicermati ke Depan
Lalu hal apa yang perlu dicermati ke depan?
1.Kapan perang dagang berakhir?
PT Ashmore Asset Management melihat kemungkinan perang dagang berakhir dalam waktu dekat adalah jika produk domestik bruto (AS) mengejutkan melemah sehingga mendorong Presiden AS Donald Trump meninjau kebijakannya. Selain itu, industri domestik AS kembali didorong.
Meski ekonomi global membaik namun ada perang dagang berdampak langsung dan dapat mempercepat perlambatan ekonomi.
Ketegangan perang dagang AS dan China dalam jangka pendek. Apalagi usai Harley Davidson berencana pindahkan produksi pabriknya di luar AS. Direksi perusahaan otomotif pun kembali dorong proposal tarif impor otomotif Uni Eropa karena dapat membebani sektor tenaga kerja AS, menaikkan harga dan aksi balas dari Uni Eropa. Menteri Perdagangan Wilbur Ross menuturkan, masih terlalu dini untuk menentukan apakah AS akan menaikkan tarif.
2. Kritik Trump terhadap The Federal Reserve
Sementara ketegangan perang dagang terus berkembang, pernyataan Trump yang kritik the Federal Reserve menaikkan suku bunga dan “melepas” hal baik yang dilakukan pemerintahannya menciptakan volatile di pasar.
Dolar AS menguat dan yuan melemah tidak sesuai rencana Trump untuk kurangi defisit perdagangan USD 500 miliar. The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan agresif berkontribusi terhadap permintaan dolar AS lebih tinggi sehingga dorong indeks dolar AS menguat.
3. Suku Bunga The Federal Reserve Naik 4 Kali?
Mengingat komentar Trump, the Federal Reserve akan berada di bawah pengawasan atas independensinya dalam pertemuan yang akan datang.
Jika tingkat suku bunga naik, itu akan dianggap the Federal Reserve pertahankan independensinya dan menindaklanjuti rencana pada awal tahun.
Namun, bagaimana jika pertumbuhan ekonomi AS melemah dan the Federal Reserve perlu batasi kenaikan?Ashmore hal itu juga dapat berperan sehingga the Federal Reserve menjadi lebih tidak agresif menaikkan suku bunga. Hal itu berdampak positif untuk pasar negara berkembang.
4. Bagaimana dengan Indonesia?
Jika nilai tukar rupiah stabil dan menguat seiring dolar AS melemah, aliran dana investor asing yang masuk menjadi katalis jangka pendek untuk pasar.
“Seperti yang terlihat secara historis pasar saham berkorelasi tinggi dengan rupiah. Demikian pula ini akan pengaruhi pasar obligasi secara positif,” tulis analis Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini: