Sukses

Terbebani Pelemahan Rupiah, Pengusaha Makanan Pikir-Pikir Naikkan Harga

Jika rupiah terus terdepresiasi, pengusaha tidak memiliki pilihan lain selain menaikkan harga produk makanan dan minumannya.

Liputan6.com, Jakarta Pelemahan rupiah yang terjadi belakangan menggerus keuntungan yang diperoleh pengusaha, terutama bagi pengusaha makanan dan minuman (mamin).

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan situasi ini dilematis bagi pengusaha. Akibat pelemahan rupiah, pengusaha mamin lebih memilih untuk menekan untung yang mereka peroleh.

"Situasinya dilematis. Beberapa anggota melaporkan kondisi penjualan sedang lesu. Sedangkan kalau menaikkan harga akan makin berat buat konsumen," tuturnya saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (22/7/2018).

Jika rupiah terus terdepresiasi, Adhi mengungkapkan, pengusaha tidak memiliki pilihan lain selain menaikkan harga produk makanan dan minumannya.

"Sementara produsen itu lebih memilih tidak naik harga meskipun menggerus margin. Namun kalau kedepan masih rugi terus, jalan terakhir adalah naik harga," kata dia.

Adhi menekankan, bahwa GAPMMI ingin rupiah berada di rentang Rp 14.000 hingga Rp 14.500 per Dolar AS. Pemerintah diminta menjaga nilai tukar untuk tidak melebihi dari kisaran tersebut.

"Sekarang fakta keseimbangan baru di Rp 14.000 - Rp 14.500. Ini (rupiah) harus dijaga stabil dan jangan naik lagi," ungkapnya.

Sebagai contoh, Adhi menjelaskan industri yang mayoritas bahan bakunya impor akan semakin diberatkan.

"Makin banyak bahan baku impor makin berat. Misal berbasis terigu gula yang 100 persen impor," ujar dia.

Selanjutnya, Adhi mengharapkan agar pemerintah dapat meningkatkan industri ekspor serta mengurangi impor terutama produk jadi dan membenahi sektor hulu untuk mengurangi impor bahan baku.

"Untuk ekspor ini, seperti insentif bunga kredit ekspor diperluas, kemudahan ekspor dan proses bongkar muat agar cepat dan murah serta tak lupa deregulasi terkait bahan baku dan industri agar daya saing produk olahan meningkat," tandas dia.

2 dari 2 halaman

Pelemahan Rupiah Saat Ini Tak Separah 1998

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan dalam beberapa bulan terakhir. Jumat kemarin, pelemahan rupiah sempat menyentuh angka 14.500 per dolar AS. Kondisi ini dipandang masih lebih baik dibanding 1998.

Pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali mengatakan, rupiah memang mengalami pelemahan dari Oktober 2014 sampai Juni 2018 sebesar 18 persen. Pelemahan rupiah  dari 12.200 per dolar AS menjadi 14.400 per dolar AS.

Menurut Rhenald, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini jauh lebih baik dibanding pada 1997 dan 1998. Saat itu rupiah tertekan 600 persen, dari Rp 2.500 per dolar AS menjadi 16.800‎ per dolar AS. Dengan begitu, pelemahan rupiah terhadap dolar AS jauh lebih besar.

‎"Tapi situasi sekarang berbeda dengan situasi 1998. Saat itu lebih besar, pada 1998 itu dari 2.500 per dolar AS ke 16.800 per dolar AS, naiknya 600 persen, kalau sekarang baru 18 persen," tutur dia di Rumah Perubahan, Bekasi, Sabtu (21/7/2018).

Di era 1998, dengan nilai tukar 2.500 per dolar AS, upah buruh Rp ‎172 ribu per bulan. Usai rupiah melemah menjadi 16.800 per dolar AS, gaji buruh hanya naik Rp 192.

Kondisi ini membuat daya beli turun. Jika dibandingkan dengan pelemahan rupiah saat itu, upah buruh justru mengalami penurunan.

Sedangkan saat ini, lanjut Rhenald, rupiah melemah 18 persen, upah buruh sudah naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3,65 juta. Artinya ada kenaikan 49 persen sejak 2014.‎ Dengan begitu upah buruh masih mengalami kenaikan meski rupiah tertekan.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini terlihat besar, karena angkanya besar dalam belasan ribu rupiah. Kondisi pelemahan mata uang lokal terhadap dolar AS tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain.

"Ini kelihatannya kenaikan besar karena angkanya besar dan semua bangsa mengalami. Dalam situasi ini ada the looser, ada the winer," tandasnya.