Sukses

Kenaikan Harga Telur Bukan karena Penurunan Produksi

Harga telur dan daging ayam di pasar tradisional masih belum turun dalam beberapa pekan terakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Harga telur dan daging ayam di pasar tradisional masih belum turun dalam beberapa pekan terakhir. Harga terus masih di kisaran Rp 28 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram (kg).

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, kenaikan harga telur di pasar tradisional ini lebih diakibatkan karena rantai pasokan yang terlalu panjang. Ia menampik alasan bahwa kenaikan harga telur ini lebih disebabkan lemahnya produksi.

Menurutnya, mustahil produksi melemah jika keduanya masih bisa diperdagangkan ke luar negeri.

"Gimana produksi kurang kalau kita sudah ekspor. Ini soal rantai pasoknya. Kami sudah sepakat kemarin harga telur Rp 18 ribu (per kg). Di ujung itu Rp 30 ribu (per kg). Artinya, ada kenaikan 60 persen, harusnya 20 persen saja," papar dia di Jakarta, Senin (23/7/2018).

Untuk menjaga rantai pasok ini, Kementan akan coba mengirimkan hasil produksi telur dan daging ayam yang berlebih ke luar negeri. Begitu pula sebaliknya, tingkat ekspor akan dikurangi jika harga di dalam negeri meningkat.

"Tinggal sekarang cara mengendalikannya. Kalau harga naik dikit maka ekspornya kami turunkan jumlahnya. Atau stok yang ada kami keluarin," jelasnya.

Sebagai solusi permanen, Amran menyarankan, agar rantai pasok telur, ayam, dan seluruh komoditas pangan dapat lebih dikendalikan, yakni dengan membentuk Satuan Petugas (Satgas) pangan.

"Memang rantai pasoknya harus kita perbaiki. Semua pangan, bukan ini saja. Kami minta, jangan ada yang mainkan pangan ini. Makanya kita bentuk satgas pangan. Karena kita tahu, permainan di pangan luar biasa," tutur dia.

2 dari 2 halaman

Kelangkaan Pakan Ternak Ikut Andil Dongkrak Harga Telur

Tingginya harga telur maupun daging ayam ras semenjak bulan Ramadan disinyalir disebabkan juga karena adanya kelangkaan pakan ternak dalam proses produksi. Swasembada bahan pakan tak tercapai, yang pada akhirnya ini menyebabkan biaya produksi menjadi kian tinggi.

“Masalahnya bukan hanya masalah produksi, namun juga kontinuitas. Jangan dilihat ketika panen jagung, terus kita swasembada. Jagung masih diragukan bisa memasok kebutuhan industri pakan,” urai Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika, dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/7/2018).

Untuk tahun ini, sasaran upaya khusus (upsus) adalah peningkatan produksi jagung menjadi 33,08 juta ton. Angka produksi ini bisa dicapai dengan dukungan program 4 juta hektare (ha) lahan, alat dan mesin pertanian serta bantuan pembinaan.Namun, Yeka menilai, konsistensi menjadi persoalan. 

Dalam setahun kebutuhan industri pakan hanyalah 8 juta ton. Jika dirata-rata, kebutuhan per bulan berkisar 660 ribu ton. Namun, budaya petani yang menanam jagung, padi dan palawija secara bergantian tiap musim menyebabkan produksi jagung tak merata sepanjang tahun.

Pada saat yang sama, depresiasi rupiah juga turut mendorong lonjakan harga pakan. Hal ini karena bungkil kedelai masih harus didatangkan dari luar negeri.

Meroketnya harga telur sebulan terakhir juga disebabkan minimnya pasokan akibat berkurangnya populasi ayam petelur. Menurut Yeka, berkurangnya jumlah pelaku usaha akibat banyaknya pelaku usaha skala kecil yang bangkrut ketika harga jatuh dua tahun lalu menjadi penyebab terpangkasnya populasi ayam petelur.

Ia memperkirakan setidaknya 30 persen peternak ayam kecil yang terpaksa menutup usahanya akibat harga telur yang terlalu rendah.

Faktor lain yang lebih berpengaruh, adalah adanya penyebaran penyakit yang ditemui di beberapa sentra penghasil telur, yang menyebabkan tingkat kematian hingga 40 persen-100 persen. Selain itu, juga ditemui penurunan produktivitas ayam petelur akibat serangan penyakit.

Video Terkini