Sukses

SPBU Kembali Jual Premium Bikin Konsumsi Naik 20 Persen

BPH Migas menyatakan,kuota Premium tidak akan melebihi persediaan kuota BBM meski 571 SPBU kembali jual Premium.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat kenaikan konsumsi Premium sebesar 20 persen.

Kenaikan konsumsi Premium itu terjadi setelah Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan kadar RON 88 tersebut dijual kembali di 571 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jawa, Madura dan Bali.

Kepala BPH Migas, Fanshurullah Asa mengatakan, kewajiban penjualan ‎Premium kembali di 571 SPBU yang diterapkan mulai Juni 2018, membuat konsumsi BBM tersebut naik 20 persen dari konsumsi harian normal sekitar 24 ribu kilo liter.

‎"Memang selama Lebaran kebijakan 571 SPBU ada kenikan 20 persen," kata Fanshurullah, di Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Meski konsumsi Premium naik, menurut Fanshurullah, BPH Migas prediksi konsumsi Premium hanya mencapai 9,5 juta kl, tidak melebihi persediaan kuota BBM penugas sebesar 11,8 juta kl.

"Prognosa BPH Migas sampai akhir tahun 9,5 juta kl kami persediaan kuota 11,8 juta masih penghematan 1,2 juta kl," tutur dia.

Perubahan status Premium di Jamali menjadi penugasan, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018, tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan pendistribusian dan harga eceran BBM.‎

Dengan begitu Pertamina, selaku badan usaha yang ditugasan menjual Premium penugasan wajib menyalurkan Premium di Jamali.

Alokasi volume penugasan tersebut merupakan alokasi volume penugasan di luar wilayah Pulau Jawa, Madura dan Bali selama satu tahun, terhitung mulai 1 Januari 2018, ditambah alokasi volume penugasan di wilayah Jamali yang dihitung sejak Keputusan ini ditetapkan.

 

2 dari 2 halaman

Asosiasi Energi Internasional Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Salurkan Subsidi Energi

Sebelumnya, Asosiasi Energi Internasional (International Energy Association/IEA) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam memberikan subsidi energi. Beban subsidi semakin berat dalam kondisi kenaikan harga minyak.

Direktur Eksekutif IEA Advisory Board of World Economic Forum (WEF), Fatih Birol, mengatakan, subsidi energi sebenarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu.

Di sisi lain, subsidi energi akan membuat keuangan negara dan penggunaan energi tidak efisien. Hal ini diperberat dengan kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.

"Subsidi itu inefisien dalam sistem ekonomi dan energi, tapi dalam satu waktu untuk melindungi masyarakat yang paling miskin dalam populasi," kata dia di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Senin 16 Juli 2018.

Menurut Birol, pemerintah harus berhati-hati dalam menggelontorkan subsidi. Itu karena jika tidak berhati-hati, dampaknya akan membuat pengeluaran keuangan negara tidak efisien dan penggunaan energi semakin boros.

"Buat beberapa negara berpikir dua kali untuk subsidi atau enggak. Di ASEAN, harusnya hati-hati dengan subsidi, karena buka inefisien energy use," tutur Biro.

Birol menyarankan, agar pengeluaran keuangan negara dan penggunaan energi efisien, penyaluran subsidi harus tepat sasaran dengan memberikannya ke pihak yang berhak menerimanya.

"Makanya kebijakan dari target subsidi itu perlu didesain case by case. Pendekatan yang benar, tapi subsidi ini harus sesuai target mengingat harga minyak dunia masih volatile," dia menandaskan.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â