Liputan6.com, Jakarta Perang Dagang AS-China dinilai tidak hanya berdampak negatif, melainkan juga angin segar bagi perekonomian Indonesia. Asalkan Pemerintah jeli dalam memanfaatkan peluang.
"Saya kira perang dagang itu cenderung negatif, artinya perdagangan Indonesia akan tertekan. Tetap ada peluang. Ketika Amerika hajar produk China, di situ ada produk-produk yang bisa kita isi," ungkap Ekonom Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono, di Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
"Jadi produk China dikenai bea masuk mahal, produk itu yang bisa kita masuki," imbuhnya.
Pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan dinilai seharusnya sudah mulai melakukan kajian atau memetakan produk apa saja yang bisa digantikan Indonesia.
"Kita lakukan studi, produk apa saja yang bisa Indonesia gantikan. Tugas Kemendag memetakan masalah, lihat produk apa saja yang ketika perang dagang terjadi itu elastis, artinya ekspor China untuk produk itu berkurang, itu yang harus kita isi," kata Tony.
Dia yakin, jika Indonesia menanggapi perang dagang AS-China secara kreatif, maka akan ada dampak positifnya bagi perekonomian.
"Ini mirip kejadian. Tahun 1985-1986, waktu itu AS band, kuotanya habis untuk negara Asia Timur, jadi 4 macan Asia waktu itu, Korea, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Keempat negara ini tidak boleh menambah ekspor tekstil ke AS. Ini peluang bagi Indonesia. Kalau kita cukup kreatif dan memanfaatkan peluang," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Umbu
Sumber: Merdeka.com
Negara G20 Waspadai Perang Dagang
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam negara-negara G20 sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dalam atasi ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi. Hal tersebut juga untuk menjaga kontinuitas momentum pertumbuhan global.
Hal itu disepakati pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang tergabung dalam negara G20 di Buenos Aires, Argentina pada 19-22 Juli 2018.
Meskipun perekonomian global masih diperkirakan tumbuh solid sebesar 3,9 persen pada 2018 dan 2019, perekonomian global mulai menunjukkan risiko perlambatan pertumbuhan dalam jangka menengah dan meningkatnya faktor risiko.Â
Baca Juga
"Faktor risiko tersebut terutama bersumber dari ketegangan perdagangan, normalisasi kebijakan suku bunga beberapa Bank Sentral, dan ketegangan geopolitik di beberapa kawasan," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman, saat menyampaikan hasil pertemuan tersebut, Senin (23/7/2018).
Dampak perkembangan teknologi terhadap sektor keuangan juga mewarnai diskusi pada pertemuan, khususnya mengenai upaya eksplorasi manfaat tekonologi keuangan bagi konsumen, investor, dan perekonomian.
Selain itu, dibahas juga kekhawatiran terhadap risiko yang timbul dari perkembangan teknologi keuangan dan cara memitigasi risiko yang dimaksud.
Agusman menjelaskan, memperhatikan perkembangan global tersebut, negara-negara G20 didorong untuk lebih meningkatkan komunikasi dan koordinasi kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi juga keuangan, serta mendukung multilateralisme dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi dan keuangan global.Â
"Menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 juga menekankan pentingnya memperkuat kerja sama dan efektivitas G20 ke depan sebagai forum utama dalam mendiskusikan permasalahan global dan menghasilkan solusi bersama," ujar dia.
Advertisement