Sukses

Dirkeu Pertamina: Kami Tak Bangkrut

PT Pertamina menyatakan pendapatan ditopang efisiensi dan sisi hulu meski pemerintah tak sesuaikan harga BBM.

Liputan6.com, Jakarta - Manajemen PT Pertamina menyatakan kinerja keuangan perseroan terkendali meski pemerintah tidak sesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terkendali.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Arief Budiman menyatakan, Pertamina tidak mungkin bangkrut meski saat ini mengalami kesulitan akibat berbagai tekanan.

Arief mengatakan, saat ini keuangan Pertamina masih terkendali, sebab pemerintah masih mendukung Pertamina tetap sehat. Jadi investasi jangka panjang yang direncanakan tidak ada yang dibatalkan.

"Keuangan terkendali dukungan pemerintah juga kuat yang pasti jangka panjang investasi enggak ada yang kami batalkan," kata Arief, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Arief mengungkapkan, salah satu program yang masih berjalan adalah peremajaan dan pembangunan kilang. Dia pun menjamin Pertamina tidak akan bangkrut, hanya belanja modalnya sedikit terlambat untuk direalisasikan.

"Proyek kilang enggak. Tetap, Pertama, kami tidak bangkrut. Kedua, capex (capital expenditure) memang terlambat, tapi enggak ada yang kami batalin," tutur dia.

Arief menuturkan, meski pemerintah tidak menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, tetapi pendapatan Pertamina disokong dari sisi hulu dan efisiensi. Namun ketika ditanyakan keuangan Pertamina selama semester pertama 2018, dia belum bisa menyebutkan.

"Belum dihitung, masih finalisasi, tunggu dari semua dulu ESDM, kemenkeu, BUMN. persisnya berapa kita nggak bisa bilang," ujar dia.

Bila melihat laporan keuangan Pertamina yang dikutip dari laman Pertamina, perseroan mencatatkan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 19,28 persen menjadi USD 2,54 miliar pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya USD 3,14 miliar.

Sementara itu, penjualan dan pendapatan usaha lainnya naik 17,73 persen menjadi USD 42,95 miliar pada 2017 dari periode 2016  USD 36,48 miliar.

Beban pokok penjualan perseroan meningkat 28,81 persen menjadi USD 31,11 miliar pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya USD 24,15 miliar. Beban produksi hulu dan lifting meningkat menjadi USD 3,32 miliar pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya USD 2,97 miliar.

Total liabilitas Pertamina naik menjadi USD 27,38 miliar pada 2017 dari periode 2016 sebesar USD 25,15 miliar.Ekuitas perseroan naik menjadi USD 23,82 miliar pada 31 Desember 2017.

 

2 dari 2 halaman

Dua Cara Pemerintah Selamatkan Pertamina dari Jurang Defisit

Sebelumnya, Pemerintah memiliki dua cara untuk mengurangi defisit keuangan PT Pertamina (Persero) akibat keputusan tidak dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar subsidi di saat harga minyak dunia meroket.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengakui, kebijakan pemerintah ‎terhadap Premium dan Solar bersubsidi akan berdampak pada kondisi keuangan Pertamina sebagai badan usaha yang ditugaskan untuk menyalurkan BBM.

"Menurut pandangan kami Pertamina badan usaha untuk melayani masyarakat, bila tidak dinaikan akan difisit" kata Jonan saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR Jakarta, Kamis 19 Juli 2018.

Jonan mengungkapkan, cara untuk mengurangi defisit Pertamina atas kebijakan tidak dinaikannya harga Premium, pertama dengan mengkonversi keuntungan Pertamina dari kegiatan ‎hulu minyak dan gas bumi (migas). Yaitu dengan memberikan Blok Migas yang habis kontraknya ke Pertamina.

Dia mencontohkan seperti penugasan ke Pertamina untuk mengelola Blok Mahakam‎, dari produksi migas blok bekas Total tersebut Pertamina mendapat keuntungan yang bisa untuk menutupi defisit atas penjualan Premium.‎

"Pemerintah menugaskan Pertamina mengelola PHE ONWJ juga 10 blok kecil terminasi yang jatuh tempo ke Pertamina, sehingga tambahan sektor hulu bisa menutupi defist di distribusi," ucapnya.

Sedangkan untuk solar, menurut Jonan saat ini harga solar subsidi yang ditetapkan ‎sekitar Rp 5.150 per liter berbeda jauh dengan harga pasar, kondisi ini membuat subsidi yang ditetapkan Rp 500 per liter tidak cukup lagi untuk menutupi selisih harga. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â