Sukses

OJK Catat Baru 63 Fintech P2P Lending Kantongi Izin

Satgas Waspada Investasi meminta masyarakat lebih waspada dan teliti sebelum memanfaatkan produk yang ditawarkan fintech peer to peer lending.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan saat ini baru terdapat 63 perusahaan financial technology (Fintech) peer to peer lending (P2P) yang sudah mendaftar dan mengantongi izin.

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing menyatakan, per hari ini, pihaknya mencatat ada 227 fintech peer to peer lending yang tidak memiliki izin.

"Satgas Waspada Investasi menemukan 227 entitas yang tidak memiliki izin, sehingga berpotensi merugikan masyarakat," ujar dia di Kantor OJK, Jakarta, Jumat (27/7/2018).

Padahal, menurut dia, berdasarkan Peraturan OJK No 77/POJK.01/2016, semua penyelenggara peer to peer lending wajib mendaftarkan diri dan mendapatkan izin dari OJK.

Oleh karena itu, dia meminta masyarakat untuk lebih waspada dan teliti sebelum memanfaatkan produk yang ditawarkan fintech peer to peer lending, karena tidak berada di bawah pengawasan OJK.

"Kami pun akan rutin menyampaikan informasi terkait perusahaan peer to peer lending yang tidak berizin. Selain itu peran serta masyarakat sangat diperlukan terutama untuk tidak menjadi peserta kegiatan entitas tak berizin tersebut," ujar dia.

Peer to peer landing atau disebut P2P merupakan salah satu jenis fintech yang melayani layanan pinjam meminjam uang. PSP ini mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman dalam satu flatform. Investor atau pemberi pinjaman akan mendapatkan bunga dari dana yang dipinjamkan.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 2 halaman

Jangan Tergiur Penawaran Kredit Online, Lihat Kredibilitasnya di OJK

Sebelumnya, pesatnya perkembangan teknologi saat ini membuat masyarakat semakin mudah dalam hal memilih produk. Salah satunya memilih produk di bidang finansial teknologi. Namun, tanpa diikuti dengan pengawasan yang ketat, masyarakat seringkali justru mendapatkan informasi yang tidak utuh, bahkan bisa menjadi korban penipuan konsumen.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya, sejak Januari 2018 telah mencatatkan 50 lebih pengaduan terhadap kredit online. Pengaduan ini mulai dari cara penagihan, sistem perhitungan bunga, dan denda yang dipandang kurang jelas.

"Berdasarkan pengamatan YLKI melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) banyak pelaku usaha di bidang kredit online yang diadukan konsumen pada YLKI adalah mereka yang tak terdaftar di OJK, Hal ini berdampak buruk bagi konsumen karena transaksi terhitung ilegal," tutur Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangan resmi, Senin 9 Juli 2018.

"Pemberi pinjaman online yang tak terdaftar di OJK tidak akan dinaungi oleh OJK serta aturan terkait pinjam meminjam secara online tersebut," kata dia.

Sementara itu, jika pemberi pinjaman yang sudah terdaftar di OJK dan tetap melanggar atau merugikan konsumen, YLKI mendesak OJK agar secara tegas untuk menolak hingga membatalkan proses perizinannya.

Oleh karena itu, YLKI menilai bahwa bisnis yang dijalankan oleh Perusahaan Kredit Online sangatlah berisiko, dengan hanya sistem validasi online ditambah konsultasi dengan pihak ahli tanpa melihat kondisi pada Sistem Informasi Debitur pada Bank Indonesia.

Atas masalah ini YLKI meminta OJK, Kominfo maupun Bareskrim Mabes POLRI untuk segera mengantisipasi hal ini agar tidak banyak konsumen yang menjadi korban.

"OJK seharusnya melakukan edukasi kepada konsumen terkait prinsip kehati-hatian pada data pribadinya," ucap dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â