Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) prediksi pemerintah Amerika Serikat (AS) akan mempertimbangkan untuk tidak cabut fasilitas generalized system of preferences (GSP) bagi produk ekspor dari Indonesia.
Hal itu disampaikan Ketua Apindo Bidang Hubungan Internasional dan Investasi, Shinta Widjaja Kamdani. Sinyal positif ini muncul pasca pertemuan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dengan Menteri Perdagangan AS, Wilbur Ross.Â
"Kabarnya positif  jadi meeting dengan Wilbur Ross. Menyambut baik bahwa kita siap. Paling tidak kita sudah bisa merespons apa yang menjadi konsen mereka, yaitu yang sekarang sedang direview untuk GSP market akses untuk barang, jasa, dan investasi," ujar dia ketika ditemui, di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
"Ya kelihatannya mereka cukup mau mempertimbangkan itu kata pemerintah kita karena Pak Mendag yang ke sana," lanjut dia.Â
Selain mempertahankan fasilitas GSP, AS juga tengah mempertimbangkan usulan Indonesia terkait bea masuk produk aluminium dan baja.
"Mengenai keringanan bahwa kita di kenaikan tarif aluminium dan baja sebesar 25 persen itu, kita minta Indonesia jangan di-include. Itu juga sudah kita sampaikan. Jadi kelihatan AS menyambut positif," tutur dia.
Meskipun demikian, kata Shinta, Pemerintah AS tentu masih harus terus mempertimbangkan usulan tersebut sebagai dengan kepentingan dan kebutuhan AS sendiri.
"Tapi mereka ada proses kita sedang dalam illegelibility review oleh AS. Kalau soal GSP jadi nanti mesti dilihat kembali," ujar dia.
GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak yang umumnya dimilik negara maju.
Hal ini untuk membantu ekonomi negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi dan penerima.Adapun negara pemilik program GSP dapat bebas tentukan negara mana dan produk apa saja yang akan diberkan pemotongan bea masuk impor.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Alasan Indonesia Masih Layak Terima Fasilitas GSP dari AS
Sebelumnya, Indonesia dinilai masih membutuhkan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) dalam melakukan perdagangan internasional.
"Saya kurang setuju kalau dikatakan Indonesia sudah anggota G20 lantas hilang haknya (mendapatkan GSP). Tidak juga. Kita masih kategori negara berkembang yang bisa mendapatkan fasilitas GSP, entah dari Eropa, AS, Jepang, atau yg lainnya," ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo di Jakarta, Jumat 20 Juli 2018.
Dia menjelaskan pemberian GSP memang merupakan hak mutlak dari suatu negara. Fasilitas tersebut diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi negara penerima fasilitas itu.
"Ada kriteria di GSP, country eligibility, di mana parameternya bisa macam-macam, human rights, labor rights, IPR (Intellectual Property Rights)," jelas dia.
"Juga ada kriteria yang dia terapkan yaitu competitive need limitations (CNL). Jadi untuk produk-produk yang sudah melampaui CNL itu akan digraduasi dari cakupan fasilitas GSP. Jadi ada hitung-hitungannya sendiri," imbuh dia.
Menurut dia, rencana pencabutan GSP oleh AS, sebenarnya dapat dimengerti. Sebab dalam pandangan AS, Indonesia sedang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan GSP.
"Tidak hanya kepada Indonesia, tapi juga India dan Kazakhstan, karena mereka melihat kok tampaknya beberapa parameter yang dia terapkan untuk memberikan fasilitas GSP ke negara-negara ini tidak terpenuhi," kata dia.
"Indonesia market shares-nya sudah semakin baik dan tidak ada pesaing yang bisa mendekati, dan tidak ada produk domestik serupa di AS, ya dia akan di-graduate dari GSP," lanjut Iman.
Meskipun GSP adalah hak mutlak negara pemberi, Pemerintah Indonesia tentu tetap mengharapkan mendapatkan fasilitas tersebut untuk mendukung kinerja perdagangannya luar negeri.
Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan AS agar GSP untuk produk Indonesia tetap ada. Indonesia memiliki pengalaman dalam bernegosiasi agar produk yang sudah terkena pencabutan GSP, kembali memperoleh fasilitas itu.
"Produk auto-wiring set dikeluarkan dari GSP pada 2013 atau 2014 kalau tidak salah, karena Indonesia market share-nya dianggap sudah kompetitif untuk bersaing di AS vis-a-vis supplier negara lain," ujarnya.
"Tapi 2014 kita minta untuk dikecualikan dari perhitungan CNL karena alasan kita, kemajuan teknologi membuat produk seperti ini cepat berganti nilai competitiveness-nya. Jadi seingat saya 2015 sudah dimasukkan lagi. Jadi itu memang bisa dilakukan redesignation of products," dia menandaskan.
GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak yang umumnya dimilik negara maju.
Hal ini untuk membantu ekonomi negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi dan penerima.Adapun negara pemilik program GSP dapat bebas tentukan negara mana dan produk apa saja yang akan diberkan pemotongan bea masuk impor.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement