Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji ulang proyek-proyek infrastruktur yang banyak mengandung bahan baku impor. Jika tidak mendesak maka proyek tersebut akan dihentikan sementara. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza adityaswara menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mensiasati defisit transaksi berjalan yang kian membengkak.
"Jadi memang terkait neraca pembayaran internasional jadi ekspor impor barang dan jasa kita kan memang biasanya memang selalu defisit karena kita impor lebih banyak daripada ekspor," kata Mirza di Kompleks Gedung BI, Jakarta Pusat, Minggu (20/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia menjelaskan membangun banyak infrastruktur sangat penting untuk masa depan Indonesia. Namun, saat ini perbedaan ekspor dan impor sangat lebar.
"Memang di dalam jangka pendek kita mengalami ekspor impor yang melebar. Beberapa kali disampaikan BI bahwa tahun lalu ekspor impor barang dan jasa kita defisit transaksiUSD 17 miliar dan tahun ini diperkirakan USD 25 miliar atau lebih," ujarnya.
Kendati demikian, Mirza menegaskan bahwa pemilihan proyek yang akan dihentikan sementara harus selektif. "Lebih selektif melihat mana yang proyek-proyek yang punya kandungan impor besar bisa sedikit ditunda suapaya akselerasi impornya itu agak tertahan."
Mirza menyatakan, pemerintah akan menseleksi beberapa proyek tersebut. Proyek yang bersifat prioritas dan proyek yang bisa ditunda.
"Tapi ya memang proyek-proyek itu penting tapi kita bisa lihat prioritasnya seperti apa, mana yang punya kadar impor yang tinggi mungkin bisa sedikit ditunda dan mungkin nanti bisa dilanjutkan lagi," terang dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu Achmud
Sumber: Merdeka.com
Gubernur BI Ungkap Penyebab Defisit Transaksi Berjalan Membengkak
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan, defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) pada 2018 akan melonjak tajam dibanding 2017. Hal itu disebabkan kenaikan angka impor yang bertambah tinggi.
"Kalau kita lihat transaksi berjalan, terus terang berat. Tekornya tambah gede," ucap dia di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/7/2018).
Dia menyatakan, proyeksi itu terjadi lantaran negara lebih giat melakukan kegiatan impor dibanding mendistribusikan barang ke luar dalam bentuk ekspor.
"Ekspornya sebenarnya baik, cukup meningkat, tapi kenaikan impornya jauh lebih besar. Sehingga defisit dari transaksi berjalannya tahun ini akan lebih besar," dia menguraikan.
Perry mengatakan, CAD 2017 adalah sebesar USD 17,5 miliar. Sementara itu, dia memproyeksikan defisit transaksi berjalan tahun ini kemungkinan dapat melebihi USD 25 miliar.
"Masalahnya, pembiayaan dari kekurangan devisa ini kalau tahun lalu disamping PMA (Pendanaan Modal Asing) lebih baik USD 17 miliar, tapi tahun lalu masuk modal asing dalam bentuk pembelian surat-surat berharga saham yang cukup besar, bisa sekitar USD 20 miliar," ujar dia.
Sedangkan pada 2018, ia menambahkan, gonjang-ganjing global terkait perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China serta kenaikan suku bunga di AS sangat mempengaruhi lonjakan defisit transaksi berjalan negara.
Agar kenaikan defisit transaksi berjalan ini bisa teratasi, dia menyampaikan ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain kerja sama pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendorong sektor pariwisata.
"Kita harus bisa mengendalikan defisit transaksi berjalan. Antara lain, koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong pariwisata, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor, itu jadi sangat penting," ujar Perry.
Â
Advertisement