Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyarankan pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk memulangkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) secara maksimal ke dalam negeri. Upaya itu disuarakan sebagai salah satu solusi jangka pendek agar defisit transaksi berjalan Indonesia tidak semakin melonjak.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah harus mampu memulangkan Devisa Hasil Ekspor yang kini masih banyak tertahan di bank asing dalam bentuk non-rupiah.
"Devisa hasil ekspor memang selama ini banyak diparkir di bank luar negeri dengan berbagai alasan. Hanya 15-25 persen DHE yang dikonversi ke rupiah. Kalau DHE-nya ditarik pulang ke Indonesia, efeknya akan signifikan memperkuat rupiah," ucap dia kepada Liputan6.com, seperti dikutip Senin (30/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, DHE yang bersifat net capital inflow tersebut akan masuk ke likuiditas perbankan, sehingga bank juga bisa gunakan DHE untuk salurkan pembiayaan lebih besar ke sektor riil.
Kebijakan DHE selama ini masih sebatas imbauan dan insentif. "Kalau sekedar moral suasion atau seruan efeknya hampir dipastikan kecil. Sebelumnya Bank Indonesia (BI) sudah buat paket kebijakan soal insentif DHE, itu pun juga tidak berhasil," ucapnya.
Selain itu, ia menyatakan negara perlu belajar ke Thailand yang mewajibkan pelaku ekspor untuk menahan DHE selama 6-9 bulan di bank dalam negeri. Kebijakan itu, katanya, membuat devisa Negeri Gajah bisa lebih stabil di tengah gejolak ekonomi global seperti saat ini.
Oleh karena itu, Bhima mengatakan Presiden Joko Widodo dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merevisi UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa, dengan menambahkan aturan terkait kewajiban Devisa Hasil Ekspor kepada pihak eksportir.
"Eksportir yang tidak menyimpan DHE sesuai ketentuan bisa diberikan sanksi berupa pembekuan Letter of Credit hingga mencabut izin ekspor," tukas dia
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Defisit Transaksi Berjalan Melebar
Bank Indonesia (BI) memprediksi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada tahun ini akan melonjak tajam dibanding tahun lalu. BI memperkirakan CAD tahun ini dapat menyentuh angka USD 25 miliar.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami defisit. Thailand yang juga mengalami defisit tahun ini. Meski demikian, Thailand masih bisa mengatasi hal ini.
Menurut dia, untuk mengurangi defisit tentu saja dibutuhkan modal masuk dalam membiayai CAD ini. Salah satunya melalui pinjaman dari luar negeri.Â
BACA JUGA
"CAD itu kalau kita lihat dari trade balance di tambah dengan neraca income (untuk bayar bunga dan deviden). Kalau kita bandingkan Indonesia dengan Thailand, Thailand defisit, Indonesia juga defisit, artinya butuh pinjaman dari luar negeri," kata Mirza pada Jumat, 27 Juli 2018.
Dia menambahkan, meski telah sama-sama mengalami defisit, perbedaan tampak pada ekspor kedua negara ini. Dibandingkan Indonesia, Thailand jauh lebih unggul. Selain itu, sektor pariwisata Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan Thailand.
"Saat ini jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia hanya sekitar 14 juta orang per tahunnya, sedangkan Thailand sudah hampir 30 juta," ucapnya.
Menurut dia, kebijakan pemerintah saat ini sudah tepat dalam mengembangkan sektor-sektor pariwisata di Indonesia. Sebab, pariwisata diyakini mampu menghasilkan devisa yang besar bagi khas negara. Tentu saja hal itu, untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara tetangga.
"Pemerintah sudah benar mendorong pariwisata, sehingga bisa mengundang pariwisata. Pemerintah sudah ke arah yang benar memperkenalkan 10 destinasi. BI fokuskan keempat dari 10 itu. Kemudian sudah bicara juga perkembangan ekspor dan lain-lain," ujarnya.Â
Advertisement