Sukses

Prabowo dan BPS Beda Pendapat soal Kemiskinan, Ini Kata Indef

BPS menghitung standar kemiskinan dengan acuan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang sebesar 2.100 kalori per kapita per hari.

Liputan6.com, Jakarta Kondisi kemiskinan di Indonesia dikritisi beberapa pihak, salah satunya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut angka kemiskinan Indonesia naik 50 persen dalam lima tahun terakhir.

Ini berbeda dengan klaim Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut jika berdasarkan data kemiskinan di Indonesia telah turun dalam lima tahun terakhir.

Menanggapi ini, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, Prabowo dan BPS punya cara pandang yang berbeda dalam melihat kemiskinan.

Dia berpendapat, BPS menghitung standar kemiskinan dengan acuan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang sebesar 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan Prabowo mungkin memakai rujukan standar ketenagakerjaan internasional (International Labour Organization/ILO) tentang kesetaraan pendapatan.

"Mengenai BPS enggak ada yang salah, karena BPS itu metodologinya menghitung angka kemiskinan dari 2.100 kalori. Nah sekarang mungkin pak Prabowo atau misalnya orang lain bukan pak Prabowo menghitung angka kemiskinan berdasarkan standar ILO," ujar dia di Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Enny kembali menegaskan, ucapan Prabowo serta data keluaran BPS itu bukanlah suatu perbedaan, melainkan hanya sebuah perbedaan sudut pandang saja.

Namun, dia pun mengimbau BPS agar dapat menyampaikan metodologi yang dipakai untuk menghitung angka kemiskinan. Sebab, setiap lembaga punya tiga rumusan untuk menganalisis kasus tersebut.

"Sebenarnya BPS juga ada tiga pembanding, yakni angka kemiskinan mutlak, ada indeks keparahan, ada indeks kedalaman. Itu sebenernya bisa diperbandingkan. Nah mungkin juga metodologinya itu yang penting dibuka kepada pemerintah, bahwa ini loh hanya pakai 2.100 kalori. Yang penting di situnya, jadi enggak hanya main sekedar klaim mengklaim," tandasnya.

2 dari 2 halaman

Angka Kemiskinan Ditargetkan Turun Jadi 9,3 Persen di 2019

Kementerian Sosial (Kemensos) menargetkan angka kemiskinan pada Maret 2019 turun menjadi 9,3 persen. Saat ini, angka kemiskinan berada di level 9,82 persen.

‎"Pada Maret 2019, pemerintah berharap, prosentase angka kemiskinan di Indonesia kembali menurun signifikan menjadi 9,3 persen," ujar ‎Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta, Senin (30/7/2018).

‎Agar program pengentasan kemiskinan berjalan efektif, Kemensos telah menggelar sejumlah upaya. Salah satunya kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) atau Family Development Session (FDS) yang berlangsung paling sedikit seminggu sekali secara efektif.

Tujuannya, kata Harry, untuk memastikan bantuan sosial (bansos) yang diterima itu dimanfaatkan untuk pemenuhan gizi keluarga, biaya kebutuhan pendidikan anak-anak dan tambahan modal usaha ekonomi produktif.

“Indeks bansos PKH (program keluarga harapan) 1,89 juta per tahun tidak besar hanya menambah 8 persen dari pengeluaran konsumsi per kapita. Idealnya antara 25 sampai dengan 40 persen," kata dia.

Indikator keberhasilan dari bansos ini, tampak dari perubahan sikap dan perilaku keluarga penerima manfaat (KPM) PKH yang akan mengarah pada kemandirian dan adanya peningkatan produktivitas secara ekonomi.

“Kini ada PKH sebanyak 10 juta KPM, dengan pendamping sebanyak 40.225 orang. Sehingga, dapat dipastikan itu mendorong keluarga penerima manfaat PKH menjadi sejahtera sehingga keluar dari perangkap kemiskinan,” ungkap dia.

Menurut dia, pada 2017 ada 320 ribu KPM y‎ang telah naik kelas menjadi sejahtera mandiri. “Lebih dari 80 persen penerima PKH sekarang telah menjadi pelaku usaha ekonomi produktif, sehingga dapat mengurangi kesenjangan antarkelompok pendapatan,” tandas dia.

Video Terkini