Liputan6.com, Jakarta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)Â memastikan akan fokus dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan bahwa untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global, KSSK telah melakukan assesment dan mitigasi terhadap berbagai potensi risiko yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Advertisement
Baca Juga
"Prioritas stabilitas Rupiah dan mengoptimalkan pilihan instrumen yang ada di BI," kata Perry dalam acara konferensi pers KSSK di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Dia menjelaskan, salah satu cara menjaga stabilitas Rupiah adalah menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate.
Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menjaga daya tarik pasar keuangan domestik sekaligus menjaga momentum pemulihan ekonomi.
"Suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI 7-day Reverse Repo Rate) dinaikkan sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen pada 29 Juni 2018," ujarnya.
Sementara itu, ada juga pelonggaran kebijakan Loan to Value Ratio (LTV) dilakukan untuk mendorong sektor perumahan.
"BI juga terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Rupiah saat ini tercatat Rp 14-420 per dolar AS atau melemah 6,0 persen ytd, lebih rendah dibandingkan pelemahan mata uang negara berkembang lainnya seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brazil, dan Turki.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Indef: Nilai Tukar Rupiah Belum Dijaga Baik
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kritik Pemerintah RI yang dinilai tidak kompak sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini terombang-ambing.
Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini mengatakan, Pemerintah Indonesia di era Soeharto sebenarnya memiliki sensitivitas yang sangat tinggi dalam menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi sejak periode 1970-an.
"Mengapa? Karena pada 1965 kita dihantam oleh krisis inflasi yang maha dahsyat. Oleh karena itu, pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap inflasi. Akan jadi isu besar kalau harga telur naik pada saat itu," papar dia dalam acara Kajian Tengah Tahun 2018 yang diselenggarakan INDEF di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Baca Juga
"Waktu itu, bahkan pengontrolan inflasi ada di samping kanan Presiden Soeharto. Sekarang siapa yang menjaga inflasi? Tidak ada. Masing-masing bicara sendiri. Hanya BI (Bank Indonesia) yang kerja," dia menambahkan.
Didik pun menyebutkan, pemerintah saat ini tidak sensitif terhadap nilai tukar rupiah. Dia menuturkan, tim ekonomi negara gagal mengelola berbagai faktor nilai tukar tersebut.
"Tim ekonomi kita itu tidak solid. Antara satu menteri dan menteri lainnya berkelahi. Ada masalah leadership kepemimpinan ekonomi yang berat pada saat ini," keluhnya.
Lagi-lagi, ia kembali membandingkan kondisi perekonomian negara kini dengan zamannya Soeharto. Dia menyatakan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto hanya memegang cadangan devisa sebesar USD 30-35 miliar, tapi bisa mengendalikannya sebelum dilanda krisis moneter 1998.
"Ada devaluasi yang tertib dari 600 ke 700, 1.100 ke 1.400 dan seterusnya," ujar dia.
Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia menambahkan, nilai tukar semakin berat sebab sektor luar negeri tidak selalu dijaga. Dia mengatakan, pemerintah tak mampu mengontrol banyak faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.
"Nilai tukar ini yang sebenarnya jadi permasalahan. Kalau nilai tukar Rp 14.500, maka otomatis kita sulit mengimpor. Akan terjadi stabilitas dengan sendirinya," ungkap dia.
"Sehingga dengan demikian, nilai rupiah kita tidak terjaga dengan sebaiknya. Dibiarkan saja, tidak terkontrol, dan faktor-faktornya tidak dikembangkan dengan baik," dia menyimpulkan.
Â
Advertisement