Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pihak menilai penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) akan lebih efektif kalau dilakukan oleh pemerintah daerah atau pemerintah setempat. Selama ini, perhitungan besaran UMP dilakukan dengan menggunakan asumsi makro pemerintah pusat.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, ada beberapa poin yang dipermasalahkan. Salah satunya adalah penggunaan asumsi makro pemerintah pusat dalam penetapan UMP.
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, peningkatan upah bagi tenaga kerja atau buruh Indonesia akan sangat kecil yaitu hanya mencapai 10 persen atau kurang lantaran pemerintah mendasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi (PDB) dalam perhitungan upah.
"Hal ini tentunya akan merugikan para buruh dan tenaga kerja di Indonesia. Selain besaran upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, besaran upah yang ada juga tidak mencerminkan daerah masing-masing," jelasnya, Kamis (2/8/2018).
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, rata-rata inflasi adalah 3, 5 persen per tahun dengan rata rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen per tahun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sentralisasi
Imelda menambahkan, sebaiknya penghitungan dan penetapan upah sebaiknya tidak dibuat tersentralisasi karena kondisi dan biaya hidup di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda.
"Wewenang penetapan besaran upah ini sebaiknya diberikan kembali kepada kepala daerah dan memberi kesempatan kepada serikat pekerja untuk terlibat dalam hal ini. Pelibatan kepala derah dan serikat pekerja setempat diharapkan bisa memberikan cerminan besaran upah yang layak dengan kondisi di daerah tersebut," sambungnya.
Dia pun menyatakan, pemerintah seharusnya menetapkan formula tetap untuk penentuan dan kenaikan upah sehingga kenaikan upah tidak terjadi setiap tahun.
"Kenaikan upah secara berkala dikhawatirkan akan memberatkan pengusaha, selanjutnya hal ini akan memengaruhi iklim usaha dan investasi di Indonesia," pungkas dia.
Advertisement