Sukses

Produktivitas Gula RI Disebut Tak Berubah dalam 10 Tahun Terakhir

Bahkan berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas gula nasional cenderung menurun.

Liputan6.com, Jakarta Program pemerintah untuk merevitalisasi industri gula nasional dipandang masih belum berdampak besar.  Program revitalisasi yang selama ini menjadi agenda rutin tersebut, baik on farm maupun off farm, tidak pernah berbuah manis sesuai rencana. 
 
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengatakan, pemerintah seharusnya fokus untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. "Sudah hampir 10 tahun produktivitas gula tidak pernah mengalami perubahan secara signifikan," ujar dia di Jakarta, Kamis (02/7/2018).
 
Novani memaparkan, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas gula nasional cenderung menurun. 
 
"Pada 2010, produktivitas tebu nasional mencapai 78,2 juta ton/ha dan menurun cukup tajam di 2011 menjadi 66,7 juta ton/ha. Pada 2013, produktivitas gula nasional meningkat menjadi 73,2 juta ton/ha dan kembali menurun di 2014 menjadi 66,1 juta ton/ha," ujarnya.
 
Novani menjelaskan, tidak berhasilnya program revitalisasi ini menyebabkan petani tebu tidak memiliki competitive advantage yang memadai, baik dalam hal memenuhi permintaan maupun bersaing dengan produk impor. 
 
"Mekanisme impor yang efektif juga merupakan langkah yang benar untuk menjamin ketersediaan permintaan dan menekan harga agar tidak terlalu tinggi," kata dia. 
 
Namun kenyataannya, kata Novani, rata-rata harga gula nasional tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan rata-rata harga internasional.
 
"Semua ini menggambarkan bahwa usaha pemerintah untuk membuat harga gula lebih terjangkau tidak efektif dan seharusnya hal ini dievaluasi, baik secara on farm dan off farm harus jadi prioritas utama,” tegas dia.
 
 
2 dari 2 halaman

Harga Murah

Sementara itu, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengklaim pemerintah menyerap gula petani dengan harga yang terlalu rendah. Harga yang dianggap layak adalah Rp 10.700/kg. Sementara sesuai dengan keputusan Menteri, harga serapan untuk gula petani adalah Rp 9.700. 
 
Namun Bulog mengklaim bahwa harga tersebut sudah ideal mengingat Bulog harus menanggung pajak petani sebesar PPh 1,5 persen bagi yang memiliki NPWP atau 3 persen bagi yang tidak memiliki NPWP. 
 
Bahkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian menjelaskan bahwa sebenarnya rata-rata harga gula konsumsi di tingkat penggilingan adalah sebesar Rp 4.725/kg. 
 
“Meskipun nilai ini adalah rata - rata nasional, akan tetapi pabrik gula di Jawa Timur merupakan pabrik gula dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar. Disparitas harga yang lebih dari Rp5.000 ini jelas tidak masuk akal. Kalau mengacu pada data Kementerian Pertanian, artinya tidak ada yang mengalami kerugian, baik petani maupun perusahaan penggilingan. Bulog justru menikmati margin yang sangat tinggi atas penyerapan gula,” pungkasnya.