Sukses

Keyakinan The Fed Tekan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.495 per dolar AS hingga 14.509 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Jumat ini. Pernyataan Bank Sentral AS Menjadi faktor penekan rupiah.

Mengutip Bloomberg, Jumat (3/8/2018), rupiah dibuka di angka 14.496 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.478 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.495 per dolar AS hingga 14.509 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 7 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Date (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.503 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.446 per dolar AS.

Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, mata uang pasar berkembang terancam merosot tajam setelah Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) menyampaikan penilaian yang optimistis mengenai ekonomi AS.

Dolar sepertinya akan tetap sangat terangkat oleh spekulasi kenaikan suku bunga AS tahun ini, sehingga mata uang pasar berkembang termasuk rupiah dapat terus melemah.

"Dari aspek teknis, rupiah dapat menantang 14.500 per dolar AS di jangka pendek apabila dolar terus menguat," jelas dia.

Isu perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia terus menghantui pasar di hari Kamis setelah Presiden Trump meminta pemerintahannya untuk mempertimbangkan peningkatan proposal tarif sebesar lebih dari dua kali lipat terhadap barang asal China senilai USD 200 miliar.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Indef: Nilai Tukar Rupiah Belum Dijaga Baik

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kritik Pemerintah RI yang dinilai tidak kompak sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini terombang-ambing.

Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini mengatakan, Pemerintah Indonesia di era Soeharto sebenarnya memiliki sensitivitas yang sangat tinggi dalam menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi sejak periode 1970-an.

"Mengapa? Karena pada 1965 kita dihantam oleh krisis inflasi yang maha dahsyat. Oleh karena itu, pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap inflasi. Akan jadi isu besar kalau harga telur naik pada saat itu," papar dia pada Selasa 31 Juli 2018. 

"Waktu itu, bahkan pengontrolan inflasi ada di samping kanan Presiden Soeharto. Sekarang siapa yang menjaga inflasi? Tidak ada. Masing-masing bicara sendiri. Hanya BI (Bank Indonesia) yang kerja," dia menambahkan.

Didik pun menyebutkan, pemerintah saat ini tidak sensitif terhadap nilai tukar rupiah. Dia menuturkan, tim ekonomi negara gagal mengelola berbagai faktor nilai tukar tersebut.

"Tim ekonomi kita itu tidak solid. Antara satu menteri dan menteri lainnya berkelahi. Ada masalah leadership kepemimpinan ekonomi yang berat pada saat ini," keluhnya.

Lagi-lagi, ia kembali membandingkan kondisi perekonomian negara kini dengan zamannya Soeharto. Dia menyatakan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto hanya memegang cadangan devisa sebesar USD 30-35 miliar, tapi bisa mengendalikannya sebelum dilanda krisis moneter 1998.

"Ada devaluasi yang tertib dari 600 ke 700, 1.100 ke 1.400 dan seterusnya," ujar dia.

Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia menambahkan, nilai tukar semakin berat sebab sektor luar negeri tidak selalu dijaga. Dia mengatakan, pemerintah tak mampu mengontrol banyak faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.

"Nilai tukar ini yang sebenarnya jadi permasalahan. Kalau nilai tukar Rp 14.500, maka otomatis kita sulit mengimpor. Akan terjadi stabilitas dengan sendirinya," ungkap dia.

"Sehingga dengan demikian, nilai rupiah kita tidak terjaga dengan sebaiknya. Dibiarkan saja, tidak terkontrol, dan faktor-faktornya tidak dikembangkan dengan baik," dia menyimpulkan.