Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini.
Mengutip Bloomberg, Selasa (7/8/2018), rupiah dibuka di angka 14.490 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.478 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.479 per dolar AS hingga 14.490 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,84 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.485 per dolar AS. Patokan pada hari ini melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.481 per dolar AS.
Baca Juga
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, mata uang dolar AS cenderung menguat terhadap sejumlah mata uang dunia termasuk rupiah disebabkan oleh eskalasi perang dagang yang meningkat antara Amerika Serikat dan China.
"Dolar AS kembali menjadi save heaven sehingga menopang pergerakannya terhadap mata uang lainnya," katanya dikutip dari Antara. Sementara itu, lanjut dia, data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan kedua 2018 yang tumbuh sebesar 5,27 persen (yoy), kemungkinan belum akan cukup banyak membantu pergerakan rupiah hari ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan II-2018 tumbuh 5,27 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 5,01 persen. "Pertumbuhan konsumsi domestik menjadi faktor utama yang mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia," katanya.
Chief Market Strategist FXTM, Hussein Sayed menambahkan dengan perkembangan dagang global serta prospek kenaikan suku bunga AS, secara umum dolar AS akan menguat.
"Perhatian akan tertuju pada data penjualan ritel Indonesia yang dijadwalkan pada pekan ini. Data penjualan ritel yang positif dapat membuat rupiah kuat terhadap dolar AS," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Nilai Tukar Rupiah Belum Dijaga Baik
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kritik Pemerintah RI yang dinilai tidak kompak sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini terombang-ambing.
Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini mengatakan, Pemerintah Indonesia di era Soeharto sebenarnya memiliki sensitivitas yang sangat tinggi dalam menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi sejak periode 1970-an.
"Mengapa? Karena pada 1965 kita dihantam oleh krisis inflasi yang maha dahsyat. Oleh karena itu, pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap inflasi. Akan jadi isu besar kalau harga telur naik pada saat itu," papar dia dalam acara Kajian Tengah Tahun 2018 yang diselenggarakan INDEF di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (31/7/2018).Â
BACA JUGA
"Waktu itu, bahkan pengontrolan inflasi ada di samping kanan Presiden Soeharto. Sekarang siapa yang menjaga inflasi? Tidak ada. Masing-masing bicara sendiri. Hanya BI (Bank Indonesia) yang kerja," dia menambahkan.
Didik pun menyebutkan, pemerintah saat ini tidak sensitif terhadap nilai tukar rupiah. Dia menuturkan, tim ekonomi negara gagal mengelola berbagai faktor nilai tukar tersebut.
"Tim ekonomi kita itu tidak solid. Antara satu menteri dan menteri lainnya berkelahi. Ada masalah leadership kepemimpinan ekonomi yang berat pada saat ini," keluhnya.
Lagi-lagi, ia kembali membandingkan kondisi perekonomian negara kini dengan zamannya Soeharto. Dia menyatakan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto hanya memegang cadangan devisa sebesar USD 30-35 miliar, tapi bisa mengendalikannya sebelum dilanda krisis moneter 1998.
"Ada devaluasi yang tertib dari 600 ke 700, 1.100 ke 1.400 dan seterusnya," ujar dia.
Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia menambahkan, nilai tukar semakin berat sebab sektor luar negeri tidak selalu dijaga. Dia mengatakan, pemerintah tak mampu mengontrol banyak faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.
"Nilai tukar ini yang sebenarnya jadi permasalahan. Kalau nilai tukar Rp 14.500, maka otomatis kita sulit mengimpor. Akan terjadi stabilitas dengan sendirinya," ungkap dia.
"Sehingga dengan demikian, nilai rupiah kita tidak terjaga dengan sebaiknya. Dibiarkan saja, tidak terkontrol, dan faktor-faktornya tidak dikembangkan dengan baik," dia menyimpulkan.
Advertisement