Sukses

Sri Mulyani: Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS Imbas dari Krisis Turki

Menkeu Sri Mulyani, menuturkan, krisis Turki pengaruhi kondisi rupiah. Akan tetapi, fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali merosot tajam hingga level 14.600 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin pekan ini. Tekanan terhadap rupiah disebut sebagai imbas dari krisis keuangan yang dialami oleh Turki.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutkan ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi kondisi rupiah. Namun untuk kali ini yang mengambil andil cukup besar dalam pelemahan mata uang Garuda tersebut adalah krisis yang sedang terjadi di Turki.

"Kita setiap hari ini selalu ada berbagai faktor bisa saling mempengaruhi. Jadi pada minggu terakhir ini faktor yang berasal dari Turki," kata Sri Mulyani saat ditemui di JS Luwansa, Jakarta, Senin (13/8/2018).

Dia mengungkapkan, dampak dari krisis Turki terjadi secara global. Hal itu disebabkan masalah krisis tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi melainkan pada sektor lainnya.

"Menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi dinamika di Turki, tapi juga karena nature atau karakter persoalannya yang sebetulnya ada persoalan serius, mulai masalah currency-nya juga pengaruh terhadap ekonomi domestik, dan terutama juga dimensi politik dan security di sana," ujar dia.

Kendati demikian, Sri Mulyani menegaskan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia capai 5,2 persen pada kuartal II 2018. 

"Pertumbuhan ekonomi kita di kuartal II cukup kuat, dan itu dorong oleh konsumsi, kita tetap mengatakan investasi dan ekspor perlu di pacu, sedangkan current account defisit (CAD) mengalami peningkatan jadi 3 persen, ini masih lebih rendah jika dibandingkan situasi pada tappertantrum 2015 yang bisa di atas 4 persen,” tutur dia.

Akan tetapi, Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan selalu  mengedepankan aspek kehati-hatian menghadapi situasi ekonomi global.

"Kita perlu tetap hati-hati karena lingkungan yang kita hadapi sangat berbeda dengan 2015. Pada 2015 waktu itu quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga belum dilakukan baru diungkapkan," ujar dia.

"Kalau sekarang suku bunga sudah naik secara global dan quantitative easing sudah mulai dikurangi, dan inilah yang menyebabkan tekanan lebih kuat terhadap berbagai mata uang di dunia,” tambah dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 

 

2 dari 2 halaman

AS Naikkan Tarif Impor Baja dan Aluminium atas Turki, Nilai Lira Kembali Anjlok

Sebelumnya, mata uang Turki Lira mengalami kemerosotan paling besar dalam satu dasawarsa setelah presiden Donald Trump mengumumkan Amerika Serikat akan menaikkan tarif atas impor baja dan aluminium dari negara itu.

Trump mengumumkan hal itu dalam sebuah cuitan pada Jumat 10 Agustus 2018. "Hubungan kami dengan Turki tidak baik saat ini!," kata Trump, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu 12 Agustus 2018.

Hubungan kedua negara tegang sejak lama, karena Amerika Serikatt mendesak Turki untuk membebaskan pendeta Andrew Brunson, yang dikenai tahanan rumah dan menghadapi tuduhan melakukan kegiatan teroris di Turki.

Gedung Putih menepiskan tuduhan-tuduhan itu sebagai hal yang tidak berdasar dan menuduh Turki menjadikan Brunson sebagai sandera. Turki berencana mengadili pendeta asal AS itu.

Masalah pendeta Brunson itu mengakibatkan ambruknya nilai mata uang Turki karena para investor takut Amerika Serikat akan menjalankan sanksi-sanksi ekonomi.

Selama seminggu terakhir, mata uang lira mengalami tekanan kuat, dan ini dipergawat oleh gagalnya pembicaraan diplomatik di Washington minggu ini.

Kesabaran Amerika Serikat menghadapi Turki agaknya telah berakhir, kata para pengamat.

"Kebanyakan pemain politik di Washington beranggapan bahwa menawarkan hadiah dan kompromi kepada Turki tidak akan berhasil, karena itu kini perlu dilakukan tindakan tegas," kata analis politik Atilla Yesilada dari Global Source Partners.

Nilai Lira jatuh 15 persen, sehingga sejak permulaan tahun ini, nilai itu telah anjlok 40 persen.

Presiden Turki berpidato di depan para pendukungnya di kota Bayburt.

"Kita tidak akan kalah dalam perang ekonomi ini," kata Erdogan hari Jumat. “Turki akan melawan para teroris ekonomi seperti kami melawan komplotan kudeta dua tahun yang lalu," tegasnya.

Presiden Turki itu menuduh negara-negara Barat berusaha menggulingkannya dengan menciptakan krisis keuangan, kendati telah gagal dalam melancarkan kudeta tahun 2016 itu.

"Sejumlah negara telah bertindak keliru dengan melindungi para pelaksana kudeta itu, dan hubungan kami dengan negara-negara seperti ini telah mencapai tahapan yang tidak bisa diselamatkan lagi," tambah Erdogan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: