Liputan6.com, Jakarta Pasca ditutup melemah 3,55 persen ke level 5.861,24 poin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuat pasar cenderung was-was pada hari ini. Namun, IHSG diramalkan masih menunjukan potensi untuk kembali menguat (rebound).
Ketidakpastian pasar akan sentimen global yakni krisis Turki, membuat IHSG dalam range yang sempit. Tak hanya itu, isu kenaikan tarif ekspor logam Turki ke Amerika Serikat (AS), turut serta membawa pasar dalam ketidakpastian.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, Analis PT Kresna Securities William Mamudi mengatakan, pelaku pasar global tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar USD 50,4 juta.
"Dari sisi teknikal, IHSG tertahan di bawah resisten 6.100, ini juga memperkuat risiko akan aksi profit-taking jika tidak terjadi breakout," tuturnya di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Mamudi menjelaskan, IHSG pada sepekan ini patut diamati mengingat krisis Turki dan ketidakpastian global yang terjadi. Sektor pertambangan ikut tertekan pada perdagangan saham hari ini.
Lebih lanjut, Analis PT Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi berpendapat, krisis yang berlangsung di Turki merambat ke pasar global. Anjloknya mata uang Turki, Lira, mengingatkan investor tentang krisis masa lalu di pasar negara berkembang dan mengguncang pasar di seluruh dunia.
"Kekhawatiran investor mengenai efek derasnya aliran dana asing yang keluar pada pasar negara berkembang akibat krisis di Turki menjadi faktor utama," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Lanjar, investor berspekulasi suku bunga akan di naikan 50 basis point (bps) pada pertemuan Bank Indonesia (BI) Rabu pekan ini.
"Kekalahan di Lira dapat memicu volatilitas dalam aset pasar berkembang dan meredam sentimen investor dalam waktu dekat," pungkasnya.
Pada kesempatan ini, Mamudi mencermati saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Ace Hardware Indonesia (ACES), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Sedangkan Lanjar yang merekomendasikan saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), serta PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA).
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
IHSG Tumbang Terimbas Krisis Turki dan Rupiah
Keterpurukan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlanjut hingga penutupan perdagangan pada hari ini. IHSG terpuruk terimbas krisis Turki dan rupiah yang tertekan.
Pada penutupan perdagangan saham, Senin (13/8/2018), IHSG anjlok 3,55 persen atau 215,9 poin ke posisi 5.861,24. Indeks saham LQ45 juga melemah 4,14 persen ke posisi 923,226. Seluruh indeks saham acuan memerah.
Sebanyak 366 saham melemah sehingga menyeret IHSG ke zona merah. 52 saham menguat dan 88 saham diam di tempat.
Baca Juga
Pada penutupan perdagangan saham, IHSG sempat berada di level tertinggi 6.034,56 dan terendah 5.861,24.
Transaksi perdagangan saham cukup ramai. Total frekuensi perdagangan saham 369.821 kali dengan volume perdagangan saham 8,7 miliar saham.
Nilai transaksi harian saham Rp 7,5 triliun. Investor asing jual saham Rp 853,133 miliar di pasar regular. Posisi dolar Amerika Serikat (AS) di posisi Rp 14.611.
Seluruh sektor saham kompak tertekan. Sektor saham pertambangan melemah 4,98 persen, dan catatkan penurunan terbesar. Disusul sektor saham keuangan tergelincir 4,16 persen dan sektor saham industri dasar melemah 4,03 persen.
Saham-saham yang mampu menguat di tengah tekanan IHSG antara lain saham GLOB naik 20,88 persen ke posisi 220 per saham, saham JECL menguat 11,25 persen ke posisi 6.675 per saham, dan saham CTTH mendaki 10,71persen ke posisi 933 per saham.
Sedangkan saham-saham yang tertekan antara lain saham BYAN merosot 16,67 persen ke posisi 16.500 per saham, saham MAYA susut 13,97 persen ke posisi 3.510 per saham, dan saham MTLA melemah 12,20 persen ke posisi 360 per saham.
Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji pada sesi siang menuturkan, pelemahan IHSG dipengaruhi faktor eksternal yaitu krisis keuangan Turki.
Hal itu timbul akibat penerapan kenaikan tarif baja dan aluminium dari Turki serta tidak adanya langkah pencegahan dari otoritas Turki yang sebabkan terjadinya depresiasi lira yang begitu signifikan terhadap dolar Amerika Serikat.
"Keadaan tersebut juga mempengaruhi depresiasi rupiah yang begitu signifikan karena sempat senth level 14.699 per dolar AS. Di sisi lain, adapun sentimen positif dari dalam negeri masih minim,” ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.
Advertisement