Liputan6.com, Jakarta - Industri rokok memang memberikan pemasukan yang cukup besar untuk negara. Tarif cukai yang setiap tahun naik ikut menyumbang pendapatan bagi APBN.
Namun ternyata, industri rokok juga menggerus uang negara. Biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk biaya pengobatan bagai orang RI yang sakit akibat rokok juga tidak kecil.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdilah Ahsan mengatakan, sesungguhnya kebiasaan merokok orang Indonesia tidak memberikan keuntungan finansial kepada negara.
Advertisement
Baca Juga
Uang negara yang tergerus dalam bentuk pelayanan kesehatan lewat BPJS Kesehatan bagi penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok mencapai Rp 160 triliun per tahun.
"Dampak dari merokok yang harus ditanggung negara melalui sistem pelayanan kesehatan itu setiap tahun negara harus mengeluarkan uang sekitar Rp 160 triliun," ungkapnya dalam diskusi di Grand Cemara Hotel, Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Jumlah anggaran yang harus dikeluarkan ini, menurut dia tentu lebih besar dibandingkan dengan total pendapatan negara yang diperoleh dari cukai hasil tembakau (HT).
Sebagai informasi, pada 2017, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp 150,81 triliun. Cukai hasil tembakau (HT) menyumbang porsi terbesar yakni Rp 145,47 triliun.
"Coba kita bayangkan pendapatan yang kita dapat dari cukai rokok itu berapa? Dampak yang harus ditanggung negara itu jauh lebih besar," tandasnya.
Reporter:Â Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utak-Atik Cukai Rokok, Bisakah Menambal Defisit BPJS?
 Cukai rokok dapat menjadi alternatif sumber dana pemasukan BPJS Kesehatan. Fungsi cukai idealnya berperan sebagai instrumen untuk melindungi konsumen dari substansi berbahaya, termasuk rokok.
BACA JUGA
"Selagi konsumsi rokok menyebabkan beban negara, opsi ini layak dikaji lebih dalam. Pemerintah secara paralel bisa mengembangkan layanan berhenti merokok dari penerimaan cukai rokok dengan harapan tidak ada lagi masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti keluarga miskin maupun anak-anak yang mengonsumsi rokok,"ujar Planning and Policy Specialist, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa, dalam diskusi publik bertajuk "Rokok Masih Murah. Perlu Diubah atau Ya Sudah Lah.." Kamis, (2/8/2018) di Tierspace, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007, pada dasarnya cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu. Salah satunya adalah jika pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Senada dengan pendapat Yurdhina, peneliti ekonomi dari Universitas Gajah Mada Gumilang Aryo Sahadewo menyebutkan, pengendalian konsumsi rokok memang perlu diseimbangkan antara intervensi harga dan non-harga. "Jika kenaikan cukai rokok berpengaruh terhadap penerimaan negara, kelebihan dalam penerimaan negara dapat disalurkan pada kelompok-kelompok yang terkena dampak cukai tersebut."ujarnya.
Dari sisi kesehatan, dr. Muhammad Iqbal Gentur Bismono menyebutkan, sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh rokok seperti kanker, jantung, diabetes dan gangguan kehamilan muncul dalam jangka waktu yang lama. Ketika penyakit ini muncul, beban biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan tidak sedikit. Karena itu, kata Iqbal, cukai rokok perlu dikaji sebagai sumber pendanaan BPJS Kesehatan.
Berbeda dengan para pembicara ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhma Yudhistira menyebutkan, jika cukai dijadikan sumber pendanaan BPJS Kesehatan maka negara akan semakin bergantung pada cukai rokok."Skema ini bisa memicu orang untuk tetap merokok karena negara membutuhkan pemasukan. Kenapa tidak dikenakan cukai untuk gula, minuman bersoda dan hal-hal lain yang juga menyebabkan penyakit kronis?"ujar Bhima.
Advertisement