Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarya Tony Prasetiantono mengatakan, pasar dunia seharusnya lebih rasional dan tidak cenderung berlebihan dalam menanggapi krisis Turki.
Menurut dia, krisis Turki seharusnya tidak menyebabkan sentimen negatif yang sedemikian besar. Sebab krisis Turki sebenarnya tidak terlalu membahayakan ekonomi dunia.
"Kalau kita lihat Turki ini perekonomian yang tidak besar-besar amat ya. GDP total sekitar USD 900 miliar. Dia (Turki) tidak punya efek yang besar seperti Yunani. Yunani kan anggota Euro. Kalau Yunani krisis, dia bisa menghantam zona Eropa. Turki kan bukan, sehingga daya rusaknya tidak akan menular ke Eropa. Tidak seberat krisis Yunani yang akan berimbas ke Euro, yang GDP totalnya sekitar USD 20 triliun," ungkapnya, Selasa (14/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia berpandangan, krisis Turki kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh pasar. Sebab kondisi perekonomian global sudah lebih dahulu dibuat 'mencekam' oleh perang dagang dan kenaikan suku bunga acuan The Fed.
"Kenapa Turki itu berpengaruh. Karena Perekonomian dunia sedang miskin berita baik, miskin sentimen positif. Sehingga sentimen negatif yang sebenarnya tidak terlalu besar akhirnya memberikan dampak yang lebih besar, melebihi yang seharusnya. Kalau istilah kita, respon pasar dunia agak lebay terhadap Turki," katanya.
Karena itu, dia berharap, pasar global dapat segera sadar dan kembali bersikap rasional dalam menanggapi krisis Turki.
"Jadi mudah-mudahan pasar jadi lebih rasional. Saya punya harapan mudah mudahan pasar lekas menyadari bahwa Turki bukan faktor yang sangat penting untuk merusak ekonomi dunia," tandasnya.
Reporter:Â ilfridus Setu Embu
Sumber: merdeka.com
Â
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Krisis Turki Ancam Pertumbuhan Investasi RI di Semester II
Krisis yang tengah melanda Turki dinilai akan berimbas pada prospek investasi di Indonesia, khususnya pada kuartal III dan kuartal IV atau semester II 2018. Hal ini yang harus segera menjadi perhatian pemerintah.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan, Indonesia menjadi salah satu dari sejumlah negara berkembang yang akan terkena dampak dari yang tengah terjadi di Turki saat ini, khususnya di sektor investasi.Â
BACA JUGA
"Sekarang berimbas pada krisis moneter di Turki yang sedang berjalan saat ini. Ini bisa membawa dampak bagi prospek investasi di kuartal III dan kuartal IV tahun ini," ujar dia di Kantor BKPM, Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Dia mengungkapkan, sama seperti yang terjadi di Argentina sebelumnya, krisis yang terjadi di Turki menjadi stimulus bagi investor untuk menarik modalnya dari negara-negara berkembang. Namun dampak ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi negara lain seperti India dan Filipina.
"Ini ‎transmisinya melalui pasar uang dan pasar modal, di mana terjadi penurunan likuditas terutama dolar di seluruh dunia akibat penarikan kembali modal investor yang diinvestasikan di negara berkembang dengan capital out flow. Itu mekanisme transmisi negara seperti Argentina, Turki ke negara berkembag lain seperti India, Indonesia, Filipina dan sebagainya," jelas dia.
Namun demikian, lanjut Thomas, Indonesia mempunyai peluang besar untuk membantu kondisi ekonomi di negara-negara berkembang di tengah ketidakstabilan ekonomi global. Salah satunya dengan mendorong pembahasan yang lebih mendalam tentang kondisi ini saat gelaran IMF-World Bank Annual Meeting pada Oktober mendatang.
"Prediksi saya dengan perkembangan yang terjadi akan menjadi topik diskusi yang hangat pada IMF-World Bank di Bali. Sebagai tuan rumah Indonesia akan mengangkat tentang yang dihadapi negara-negara berkembang dalam meeting tersebut. Ini peluang emas bagi Indonesia untuk membawa agenda di negara berkembang dengan gejolak pasar uang dan pasar modal global," tandas dia.
Advertisement