Sukses

Strategi Menko Darmin buat Tekan Defisit Transaksi Berjalan

Salah satu langkah yang disiapkan pemerintah adalah merealisasikan penggunaan biosolar 20 persen (B20) pada 1 September mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution tengah menyusun strategi jangka pendek, menengah, panjang (masterlist) dalam menghadapi tren pelebaran defisit transaksi berjalan. Langkah ini juga untuk menghadapi defisit neraca perdagangan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Salah satu langkah yang disiapkan pemerintah adalah merealisasikan penggunaan biosolar 20 persen (B20) pada 1 September mendatang. Kebijakan ini tinggal menunggu Peraturan Pemerintah dan aturan turunannya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"B20 1 september dan itu begitu dijalankan tidak ada lagi B0 yang kita sedang pikir adalah pertadex. Tapi kalau pasangannya Pertalite yang namanya Dexlite itu B20 sehingga kita sudah atur walaupun Permen belum keluar karena Perpres baru keluar besok," ujarnya di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (15/8/2018).

Menko Darmin menjamin, dengan penggunaan B20 ini ketergantungan Indonesia terhadap impor solar akan berkurang. Pemerintah juga akan terus memastikan pencampuran dilakukan di dalam negeri sebelum diteruskan kepada konsumen.

"Di sana akan diatur dengan jelas bahwa pencampuran CPO dengan solar itu dilakukan semua pengimpor, tidak boleh tidak. PT Pertamina sebagai produsen dalam negeri juga melakukan pencampuran, tidak ada lagi lolos kecuali yang nakal," jelasnya.

Sementara itu, langkah menengah adalah mengerem bahan baku impor yang tidak mendesak.

"Kalau mengurangi untuk pertumbuhan impor, TKDN. Proyek yang besar itu ada target TKDN, satu per satu begitu kita lihat sekarang banyak yang tidak dipenuhi jadi kita akan memastikan dipenuhi," jelasnya.

Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menambahkan, untuk jangka panjang pemerintah sudah menyiapkan pengelolaan kilang PT Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI). Kilang ini akan dikelola oleh PT Pertamina dan mendatangkan keuntungan bagi negara.

"Ada yang lebih panjang, mudah-mudahan tidak ada hambatan. Tapi kita juga mencari solusi dan tadi sudah di tanda tangani antara Kemenkeu dan Pertamina Petrochemical Indonesia, memang itu bukan sebulan bisa tiga sampai empat bulan bisa lebih sedikit untuk mulai," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

 

2 dari 2 halaman

Defisit Transaksi Berjalan Tembus 3 Persen Jadi Alarm untuk RI

Pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia tertekan sejak awal pekan ini. Dua komponen utama menjadi penyebab tertekannya kondisi pasar di Indonesia.

Pertama, menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mayoritas mata uang negara berkembang. Kedua, memburuknya sentimen terhadap negara berkembang akibat krisis mata uang Turki, Lira yang terjadi pada beberapa hari ini.

Sejak awal tahun (year to date/ytd), rupiah melemah 7,59 persen terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi 1,73 persen. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun tembus level psikologis 8 persen.

Budi Hikmat, Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management mengatakan, dampak krisis mata uang Turki terhadap ekonomi Indonesia relatif terbatas.

Lantaran, sejauh ini perbankan Indonesia tak memiliki eksposure terhadap surat berharga Turki. Akan tetapi, memburuknya ekonomi Turki akibat twin deficit (fiskal dan neraca berjalan) telah menyeret pasar modal Indonesia.

"Secara fundamental, ekonomi Indonesia jauh lebih prudent (hati-hati) dibanding negara lain. Kita jauh dari overheated situation, di mana pertumbuhan kredit lebih lambat tingkat inflasi kuartal 2 masih terjaga,” ungkap Budi Hikmat, dalam keterangan tertulis Rabu (15/8/2018).

Sebagai perbandingan, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh dari situasi overheated dibandingkan Turki. Secara fundamental, pengelolaan ekonomi Turki saat ini kurang sehat dan memburuknya defisit kembar yang ditaksir sekitar 9 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan data Bloomberg, proyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berkisar 6,4 persen pada akhir tahun. Di samping itu, kondisi politik dengan Presiden Amerika Serikat semakin memperburuk situasi.

Kurs mata uang Lira terhadap dolar AS telah anjlok 70,99 persen, imbal hasil obligasi negara Turki meningkat hingga 22 persen sepanjang tahun berjalan. Sementara, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup baik.

Defisit neraca berjalan (CAD) Indonesia pada kuartal II-2018 sebesar 3 persen dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Tingkat inflasi Indonesia pun jauh lebih rendah, yakni 3,2 persen dibandingkan tingkat inflasi Turki sebesar 15,9 persen.

Tingkat pengangguran Indonesia sebesar 5,1 persen, sementara Turki sebesar 10,5 persen. Akan tetapi, Budi mengingatkan agar pemerintah Indonesia harus berhati-hati dengan defisit transaksi berjalan yang telah menembus angka 3 persen terhadap PDB.

"Ini menjadi alarm untuk Indonesia, agar kembali mengaktifkan mesin pendulang valas. Jika tidak, CAD akan terus tertekan,” papar Budi.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Video Terkini