Sukses

Pemerintah Perlu Bangun Kepercayaan Pasar Hadapi Tekanan Eksternal

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin jadi 5,5 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan 7 Day Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen usai gelar Rapat Dewan Gubernur BI pada 14-15 Agustus 2018. Namun sayangnya, langkah BI ini dinilai terlambat.

Direktur Eksekutif economic Action Indonesia (EconAct), Ronny P Sasmita mengatakan, idealnya dari akhir tahun dan awal tahun reaksi dengan instrumen suku bunga acuan telah diambil.

"Tapi sayang BI lamban merespons, rupiah terus melorot. Di saat rupiah sudah menembus angka psikologis, barulah BI menaikan suku bunga, sementara isu global sudah mulai terbagi antara perang suku bunga dan perang dagang," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (16/8/2018).

Ia menuturkan, keterlambatan tersebut terbukti dengan minimnya respons positif dari pergerakan rupiah karena pasar sudah terlalu jauh bergerak.

Pada April lalu suku bunga melompat 0,50 basis poin, tapi pengaruh terhadap pergerakan rupiah terbilang minim. 

Kini ancaman datang dari beberapa sisi, neraca dagang, neraca pembayaran, melambatnya investasi, ketidakpastian tahun politik, ancaman perang dagang dari Trump untuk produk Indonesia, kampanye negatif atas produk CPO di Eropa, dan terakhir efek domino dari rontoknya Lira Turki. 

"Semuanya tentu tak bisa dibalas dengan kenaikan 0,25 basis point suku bunga lagi. Sementara di sisi lain inflasi kita plus minus hanya 4 persen," papar dia.

Tak hanya dengan suku bunga, menurut Ronny, pemerintah harus merespons dengan tindakan menyeluruh dan aksi fundamental.

Bahkan, jika diperlukan, tak mengapa mengeluarkan paket kebijakan ekonomi baru untuk merespons perkembangan terbaru ini. 

Paket percepatan investasi, paket percepatan ekspor untuk mengantisipasi defisit, paket kebijakan percepatan peningkatan kunjungan wisata.

Kemudian paket kebijakan fiskal untuk meningkatkan kredibilitas anggaran pemerintah, diikuti dengan pendekatan-pendekatan strategis kepada dunia usaha untuk membangun kepercayaan pasar. 

"Pendeknya menurut saya, kebijakan kenaikan suku bunga adalah respons yang terlalu normal untuk situasi yang terbilang jauh di atas normal. Efeknya tidak akan terlalu besar terhadap rupiah. Kepercayaan pasar harus dibangun secara komprehensif lintas instansi," kata Ronny. (Yas)

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

2 dari 2 halaman

BI Waspadai Krisis Turki

Sebelumnya,Bank Indonesia (BI) menilai saat ini ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata. 

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan munculnya risiko rambatan dari gejolak ekonomi di Turki.

"Gejolak ekonomi Turki disebabkan oleh kerentanan ekonomi domestik, persepsi negatif terhadap kebijakan otoritas, serta meningkatnya ketegangan hubungan Turki dengan AS," kata Perry, di kantornya, Rabu 15 Agustus 2018.

Perry menegaskan, BI akan mewaspadai gejolak yang sedang terjadi di Turki dan faktor eksternal lainnya.

"Termasuk kemungkinan dampak rambatan dari Turki, meskipun diyakini bahwa ketahanan ekonomi Indonesia cukup kuat didukung oleh indikator fundamental ekonomi yang sehat dan komitmen kebijakan yang kuat," ujar dia.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dunia masih tidak merata. Ekonomi AS diperkirakan tetap tumbuh kuat didukung akselerasi konsumsi dan investasi. Sementara itu, ekonomi Eropa, Jepang dan Tiongkok masih cenderung menurun. 

Dengan perkembangan tersebut, the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi tetap melanjutkan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) secara bertahap. Sementara European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan ( BOJ) cenderung masih menahan kenaikan suku bunga.

"Di samping kenaikan suku bunga FFR, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dipicu oleh ketegangan perdagangan antara AS dan sejumlah negara, yang mendorong kebijakan balasan yang lebih luas, termasuk melalui pelemahan mata uang di tengah berlanjutnya penguatan dolar AS secara global," kata Perry.

Â