Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana untuk mengendalkan impor barang konsumsi dengan mengevaluasi tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor. Ini sebagai langkah tegas untuk kendalikan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 yang sudah capai tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, saat ini sudah ada sekitar ratusan barang komoditas impor yang akan ditinjau kembali terhadap pengenaan PPh tersebut. Adapun pengenaan tarif berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 132/2015 dan PMK 34/2017 dikenakan sebesar 2,5 persen hingga 7,5 persen.
Advertisement
Baca Juga
"ada sekitar 900 komoditas impor yang kami sekarang sedang review dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Sri Mulyani menyebut, melaui Penerbitan Impor Berisiko Tinggi (PIBT) yang dikeluarkan Bea Cukai diharapkan menjadi peta yang jelas pada barang-barang impor. Sehingga pemerintah dapat dengan mudah mengevaluasi seluruh barang konsusmi yang terkena PPh impor.
"Untuk barang barang impor yang sudah diproduksi dalam negeri terutama oleh UMKM maka kami akan melakukan langkah yang sangat tegas untuk mengendalikan barang konsumsi tersebut," tandasnya.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Defisit Transaksi Berjalan Mulai Lampu Kuning
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sebesar tiga persen menjadi kekhawatiran bagi pemerintah dan Bank Indonesia.
Sebab, angka itu menurut dia membengkak bila dibandingkan pada akhir 2017. "Tadinya akhir tahun lalu CAD kita rendah, kalau tidak salah cuma 2,2 persen dari GDP. Tiba-tiba sekarang dia melejit di atas 2,5 persen. Dan memang kalau dia sudah 3 persen atau lebih, itu selalu sudah harus mulai menganggap itu lampu kuning, kalau sudah 3 persen," ungkap Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Rabu (22/8/2018).
Darmin mengatakan, sebetulnya tren transaksi berjalan sejak orde baru memang selalu mengalami defisit. Akan tetapi, defisit tersebut tidak besar seperti saat ini.Â
BACA JUGA
"Kita tadinya tidak besar sampai tahun lalu. Tahu-tahu awal tahun ini membesar. Nah itu yang kemudian membuat kita harus melakukan persiapan-persiapan perubahan-perubahan supaya kemudian itu tidak menggangu kita," ujar Darmin.
Dalam hal ini, lanjut Darmin, pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan agar tidak terus-terusan mengalami kekhawatiran.
Salah satu upayanya adalah dengan memperluas penerapan bauran minyak sawit (biofuel) dalam bahan bakar solar sebanyak 20 persen (B20).
Selain itu, kebijakan lainnya adalah di bidang pertambangan dan energi seperti penambahan kuota produksi batu bara mencapai 100 juta ton untuk mendorong ekspor.
Kemudian menghidupkan kembali kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk mengurangi impor petrokimia RI.
"Jadi dengan itu. Ditambah dengan kebijakan secara umum dibidang pariwisata atau perindustrian, pertanian, pertambangan, rasanya dalam beberapa bulan ke depan kita bisa untuk membuat transaksi berjalan kita defisitnya tidak terlalu berat kira-kira begitu," ujar dia.
Advertisement