Sukses

Rencana Revisi Aturan Investasi Diminta Perhatikan Ekonomi Nasional

Investor dinilai membutuhkan kepastian berinvestasi melalui aturan yang tidak cepat berubah.

Liputan6.com, Jakarta Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merevisi kembali sejumlah aturan yang baru berlaku dikhawatirkan bisa mengancam kepastian investasi di Indonesia dalam jangka panjang. Investor dinilai membutuhkan kepastian berinvestasi melalui aturan yang tidak cepat berubah.

Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana menambahkan, semua pihak harus satu pemahaman dalam upaya mengembangkan perekonomian Indonesia. Revisi aturan yang terlalu cepat akan membingungkan pelaku usaha.

Apalagi, jika revisi dilakukan dalam waktu kurang dari dua tahun setelah aturan diberlakukan. Dalam periode tersebut, sebuah peraturan sesungguhnya masih dalam tahap pengenalan.

"Kalau diperlukan revisi, peraturan tersebut harus mempermudah dan mempercepat perkembangan bisnis, jangan sampai menghambat," kata dia, Senin (27/8/2018).

Saat ini, BPOM tengah menggulirkan wacana revisi aturan terkait labelisasi dan iklan produk pangan. Aturan tersebut termasuk di dalamnya mengatur mengenai susu kental manis. Padahal, berbagai aturan yang ada saat ini baru berlaku kurang dari dua tahun.

Dia mengatakan, rencana revisi aturan labelisasi dan iklan produk pangan yang harus memperhatikan perkembangan ekonomi nasional.  Hal yang terpenting iklan dilakukan sesuai ketentuan yang sudah ada. 

Dalam situasi saat ini yang diperlukan dari sebuah aturan adalah mendorong agar usaha kecil dan menengah dapat ikut memasarkan produk mereka. "Menggerakkan konsumen dengan iklan itu sangat penting," kata Teguh.

Pengamat Industri dan Perdagangan, Fauzi Aziz mengungkapkan, perubahan aturan yang terlalu cepat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, pemerintah sedang berupaya menghapuskan hambatan-hambatan penanaman modal. Apalagi, kemudahan dalam berinvestasi menjadi salah satu program utama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Prinsip utama regulasi harus memberikan kepastian hukum. Saat dieksekusi juga tidak memerlukan proses panjang. Jika ada rencana revisi aturan, latar belakangnya juga harus jelas. Intinya sebuah regulasi jangan sampai menghambat investasi," kata dia.

Menurut Fauzi, khusus susu kental manis, tidak ada hal signifikan yang membutuhkan revisi aturan. Berbagai diskusi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir juga bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Selain itu, di tengah keterbatasan aliran modal asing yang masuk, regulator seharusnya memberikan pelonggaran agar investasi meningkat. Revisi aturan yang terlalu cepat akan membuat investor enggan menempatkan dana di Indonesia.

“Keberlangsungan investasi harus dijaga, jangan sampai investor memindahkan modalnya ke luar negeri,” kata Fauzi.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini

 

 

2 dari 2 halaman

Target Investasi 2018 Sulit Tercapai

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan target investasi di 2018 sebesar Rp 765 triliun sulit tercapai. Sebab, banyak faktor yang yang dinilai menjadi penghambat masuknya investasi seperti gejolak ekonomi global dan nilai tukar rupiah.

"Harus diakui capaian 2018 menjadi lebih sulit," ujar Kepala BKPM Thomas Lembong‎ di Kantor BKPM, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Sulitnya pencapaian target di 2018 bukan lantaran tahun politik. Sebab, menurut dia, sejauh ini kondisi politik di Indonesia masih memberikan sentimen positif bagi investor.‎

"Saat ini aspek pollitik berdampak positif pada sentimen investasi dan investor. Dibandingkan negara lain yang tidak berhasil menciptakan stabilitas politik seperti yang kita hasilkan pada bulan-bulan ini. Ini memberikan bantuan positif yang cukup besar pada sentimen pasar dan investasi. Lain dengan banyak negara berkembang lain," jelas dia.

Dia mengungkapkan, yang justru menjadi penghambat masuknya investasi adalah gejolak nilai tukar rupiah dan kebijakan yang masih kurang mendukung investasi.

"Jadi bukan politik yang sedang mengganggu sentimen investasi tapi gejolak kurs, gejolak pasar modal negara berkembang dan policy blunder terhadap investasi," ungkap dia.