Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dinilai perlu fokus pada kebijakan jangka panjang untuk stabilkan nilai tukar rupiah di tengah sentimen eksternal yang berkepanjangan.
Ekonom UI, Lana Soelistianingsih mengatakan, pemerintah kini dalam posisi yang dilematis. Meski pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), sentimen eksternal dipandang memainkan peran besar pada fluktuasi nilai tukar rupiah ke depan.
"Instrumen dari Bank Indonesia (BI) sendiri itu memang terbatas ya. Yang paling cepat memang naikkan suku bunga, atau kedua bisa menjual valas dan menarik rupiah. Menarik rupiah ini BI bisa menjual obligasi atau surat utang," tutur dia saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (31/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan untuk menjual valuta asing (valas) ini, menurut Lana, BI dapat mengoptimalkanya melalui industri perbankan.
"BI bisa intervensi lewat bank-bank, intinya BI menarik rupiah juga dengan menjual dolar. Otomatis harga dolar bisa agak turun, rupiahnya naik. Tapi efeknya cadangan devisa kita turun," ujar dia.Â
"Jadi memang dilematis juga, karena pilihannya terbatas. Masalahnya tekanan eksternalnya ini yang enggak selesai-selesai. Jadi memang perlu pembenahan struktural atau jangka panjang," tambah Lana.
Lana menekankan, Indonesia perlu kebijakan yang berfokus pada kepentingan jangka panjang, mengingat ketidakpastian global yang mungkin terjadi kembali.
"Misal substitusi impor, misalnya pabrik bahan baku obat yang masih impor, bagaimana kalau dibuat pabrik bahan bakunya di Indonesia, tapi ini efeknya juga baru kerasa 3 tahun yang akan datang, tapi harus dilakukan, karena kalau enggak isunya berulang-ulang saja seperti ini," kata dia.Â
Lana menambahkan, pemerintah juga telah berupaya dengan pembatasan impor dengan evaluasi tarif pajak penghasilan (PPh) impor 900 komoditas. "Ini juga akan dilakukan tapi efeknya baru kerasa mungkin 2019-2020. Namun, intinya memang perlu dilakukan, kalau enggak 3 tahun ke depan akan terulang lagi,"Â kata dia.
Senada, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djayadi menyatakan, depresiasi rupiah lebih disebabkan oleh sentimen eksternal. Sedangkan untuk obligasi dan pasar saham RI, Inarno mengungkapkan bahwa hal ini masih dalam situasti yang positif.
"Sebetulnya pelemahan rupiah kemarin itu lebih banyak karena eksternalnya ya. Krisis Argentina itu mata uangnya turun sampai tujuh persen dalam satu hari saja loh, terus Turki Lira juga turunnya luar biasa," ujar dia.
"Jadi dari sisi saham dan obligasi itu sebetulnya inflow masih hijau. Pelemahan rupiah awal-awalnya bukan dari saham dan obligasi, bukan dari pasar modal, itu lebih ke arah eksternal," tutur dia.
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Â
Â
Nilai Tukar Rupiah Tetap di Posisi 14.700 per Dolar AS
Sebelumnya, nilai tukar rupiah belum beranjak dari posisi 14.700 per dolar Amerika Serikat (AS) menjelang akhir pekan ini.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat 31 Agustus 2018, rupiah berada di posisi 14.711 per dolar AS atau susut 0,38 persen pada 31 Agustus 2018 dari posisi 30 Agustus 2018 di kisaran 14.655 per dolar AS.
Sementara itu, data Bloomberg, nilai tukar rupiah dibuka melemah ke posisi 14.710 per dolar AS atau turun 30 poin dari penutupan perdagangan ke posisi 14.680 per dolar AS. Rupiah pada Jumat siang ini bergerak di kisaran 14.710 per dolar AS.
Head of Indonesia Equity Research Citigroup Securities Indonesia, Ferry Wong menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat dipengaruhi faktor global terutama Argentina. Krisis ekonomi Argentina mempengaruhi negara berkembang. Akan tetapi, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Argentina.
Sedangkan dari internal, defisit transaksi berjalan juga turut mempengaruhi. Indonesia catatkan defisit transaksi berjalan sekitar tiga persen pada kuartal II 2018. Ferry memperkirakan rupiah masih akan tertekan hingga akhir tahun.
"Karena faktor Argentina mulai kena lagi dan current account defisit bukan hal yang baru dan masih akan menekan hingga akhir tahun. Semua negara emerging market tertekan juga jadi cuma ikiti perlahan dari negara lain," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, pemerintah sudah melakukan hal yang perlu dilakukan untuk stabilkan nilai tukar rupiah antara lain penerapan biodiesel 20 persen dan mengendalikan impor. Namun, dampaknya tidak bisa langsung. "Saya rasa investor tidal terlalu khawatir karena semua juga begitu," ujar dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Â
Â
Advertisement