Sukses

3 Alasan Pelemahan Rupiah Saat Ini Berbeda dengan 1998

Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini relatif berlangsung secara perlahan dan tidak drastis.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus bergerak melemah. Pada perdagangan Selasa ini, rupiah menyentuh angka 15.000 per dolar AS yang merupakan level terendah dalam 20 tahun terakhir.

Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-­isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Denni Puspa Purbasari menjelaskan, meskipun pelemahan rupiah semakin dekat dengan level pada saat krisis moneter 1998, tetapi rupiah saat ini sebenarnya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan situasi saat krisis, dua dekade silam tersebut.

Menurut Denni, setidaknya, ada tiga alasan yang menjadi buktinya. Berikut penjelasannya:

1. Pelemahan tidak drastis

Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini relatif berlangsung secara perlahan dan tidak drastis. Sejak awal tahun hingga level terendahnya, rupiah melemah 9,3 persen. Hal ini sangat berbeda dengan saat krisis 1998.

Tahun itu, pada 17 Juni, rupiah mencapai level terendahnya, 15.250 per dolar AS. Dihitung dari sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terjun 124,39 persen.

"Volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama krisis 1998 juga sangat tinggi dan bergerak dalam rentang yang lebar," jelas dia dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (4/9/2018).

Perinciannya, pada 1997, rupiah bergerak di kisaran 2.362 – 5.850 per dolar AS. Adapun, fluktuasi harga harian sepanjang tahun itu bisa menguat 12,26 persen dan melemah 13,21 persen.

Tahun 1998, rupiah bergerak pada rentang 5.650 – 15.250 per dolar AS. Dalam satu hari, rupiah bisa menguat 20,66 persen atau melemah 24,11 persen.

Nilai rupiah yang terjun bebas, diikuti dengan fluktuasi yang tinggi, ketika itu membuat hitungan bisnis kacau dan masyarakat panik.

Berbeda dengan kondisi sekarang, di mana pelaku usaha seharusnya masih bisa menyerap efek dari pelemahan rupiah yang tidak drastis dengan volatilitas yang relatif tidak terlalu tinggi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

2. Cadangan Devisa Jauh Lebih Besar

Kendati turun dari posisi akhir tahun 2017, posisi cadangan devisa saat ini masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat krisis 1998.

Saat itu, cadangan devisa Indonesia hanya mencapai US$ 23,61 miliar. Sedangkan, per akhir Juli 2018, cadangan devisa mencapai US$ 118,3 miliar. Itu berarti, lima kali lipat lebih besar ketimbang cadangan devisa 20 tahun silam.

Dengan cadangan devisa yang jauh lebih besar, bank sentral memiliki lebih banyak “modal” untuk meredam gejolak nilai tukar.

"Melihat pelemahan hari ini, misalnya, BI turun mengintervensi pasar sehingga pelemahan rupiah tidak terlalu dalam," kata dia. 

Singkatnya, masyarakat, termasuk pelaku pasar dan dunia usaha, tidak perlu khawatir rupiah akanterpuruk. Sebab, Bank Indonesia ada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah.

Di samping itu, pemerintah turut mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mengawal rupiah.

“Pemerintah tidak akan mengintervensi Bank Indonesia. Pemerintah terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” ujar Denni.

 

3 dari 3 halaman

3. Kepercayaan Investor Masih Kuat

Minat investasi asing terhadap surat utang suatu negara merupakan salah satu indikator yang secara tidak langsung memperlihatkan baik buruk kondisi makroekonomi suatu negara. Logikanya, tidak ada investor yang mau menempatkan uangnya di negara yang tengah sakit.

Ketika bank sentral AS mengerek suku bunga, memang terlihat investor asing menarik dananya dari pasar surat utang Indonesia. Namun, sejak awal bulan ini, asing kembali masuk ke pasar surat utang.

Bahkan, per akhir pekan lalu, asing mencatatkan beli bersih Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6,92 triliun. Itu berarti, kepercayaan investor asing terhadap Indonesia masih kuat. Ini memberi harapan, nilai rupiah ke depan akan cenderung stabil atau tidak akan jatuh terlalu dalam.

Memperkuat keyakinan itu, lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings mengafirmasi peringkat BBB untuk surat utang Indonesia dengan outlook stabil. Peringkat ini menunjukkan Indonesia termasuk di dalam kategori layak investasi.

“Pemerintah akan memastikan bahwa fiskal bukan sumber dari ketidakpasatian,” Denni menegaskan.