Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot tajam pada sesi pertama perdagangan saham Rabu (5/9/2018).
Pada penutupan sesi pertama, IHSG melemah 196,42 poin atau 3,33 persen ke posisi 5.708,88. Indeks saham LQ45 susut 3,92 persen ke posisi 895,13. Seluruh indeks saham acuan kompak melemah
Sebanyak 376 saham melemah sehingga menekan IHSG. 38 saham menguat da 42 saham diam di tempat. Pada sesi pertama, IHSG sempat berada di posisi tertinggi 5.868,77 dan terendah 5.704,42.
Advertisement
Baca Juga
Total frekuensi perdagangan saham sekitar 219.142 kali dengan volume perdagangan 6,3 miliar saham. Nilai transaksi harian Rp 3,9 triliun. Investor asing jual saham Rp 338,82 miliar di pasar regular. Posisi dolar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran Rp 14.912.
10 sektor saham tertekan. Sektor saham tambang turun 3,99 persen, dan catatkan penurunan terbesar di antara sektor saham lainnya. Selain itu, sektor saham barang konsumsi tergelincir 3,62 persen dan sektor saham manufaktur susut 3,53 persen.
Saham-saham yang catatkan penguatan di tengah IHSG yang tertekan antara lain saham SHID naik 24,78 persen ke posisi 2.870 per saham, saham AKSI melonjak 24,44 persen ke posisi 840 per saham, dan saham EPMT mendaki 15,26 persen ke posisi 2.190 per saham.
Sedangkan saham-saham yang melemah antara lain saham INPP susut 22,63 persen ke posisi 530 per saham, saham GDST tergelincir 18,13 persen ke posisi 140 per saham, dan saham TPMA melemah 16,67 persen.
Bursa Asia pun kompak tertekan. Indeks saham Hong Kong Hang Seng turun 1,76 persen, indeks saham Korea Selatan Kospi tergelincir 0,26 persen, indeks saham Jepang Nikkei turun 0,20 persen.
Selain itu, indeks saham Thailand susut 0,80 persen, indeks saham Shanghai tergelincir 0,85 persen, indeks saham Singapura terpangkas 0,77 persen dan indeks saham Taiwan turun 0,21 persen.
Sebelumnya, Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji menuturkan minimnya sentimen positif dari domestik serta meningkatnya sentimen negatif dari eksternal seperti misalnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok, krisis keuangan Turki, Venezuela dan Argentina, serta ada potensi akan terjadinya krisis keuangan di beberapa negara berkembang.
"Di sisi lain, sentimen kenaikan suku bunga the Fed pada bulan ini menyebabkan para pelaku pasar lebih cenderung memilih wait and see sehingga IHSG masih akan melemah," kata dia.
Sementara itu, VP PT Ashmore Assets Management Indonesia, Angganata Sebastian menuturkan, ada sejumlah faktor menekan IHSG antara lain, antisipasi menjelang pengumuman apakah impor tarif akan diberlakukan antara AS dan China. "Selain itu ada kecenderungan over panic karena pelemahan rupiah," tutur dia.
Ia mengatakan, gerakan IHSG cenderung jenuh jual. Hal ini mengingat perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini masih membukukan kinerja positif.
Rupiah Melemah ke Posisi 14.927 per Dolar AS
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Bahkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah sentuh 14.900 per dolar AS.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank, rupiah melemah 0,58 persen ke posisi 14.927 per dolar AS pada Rabu (5/9/2018) dari periode Selasa 4 September 2018 di posisi 14.840 per dolar AS.
Sementara itu, data Bloomberg, rupiah dibuka menguat terhadap dolar AS. Rupiah menguat 10 poin ke posisi 14.925 per dolar AS dari penutupan kemarin di posisi 14.935. Rupiah bergerak di kisaran 14.925-14.933 pada Rabu siang ini. Nilai tukar rupiah pun sudah merosot 10,17 persen sejak awal tahun.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah lebih didorong sentimen eksternal. Hal itu dari kekhawatiran efek menularnya krisis keuangan di Turki dan Argentina terhadap negara berkembang.
"Sentimen cukup negatif di negara berkembang terutama di pasar keuangan mulai dari saham, obligasi. Perspektif investor global terhadap emerging market mulai dari Turki hingga Afrika Selatan berpotensi krisis buat kepanikan dan kekhawatiran," ujar Josua saat dihubungi Liputan6.com.
Sentimen kekhawatiran krisis Turki, Argentina dan Afrika Selatan berimbas terhadap negara berkembang yang alami defisit transaksi berjalan yang cenderung naik.
Defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal II 2018 atau sekitar USD 8 miliar.
Meski demikian, menurut Josua, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih jauh lebih stabil dibandingkan ekonomi negara berkembang lainnya. "Ini bukan semata-mata faktor fundamental tetapi sentimen. Dikhawatirkan ada penularan krisis tetapi, kondisi kita (Indonesia) sangat kuat," kata dia.
Josua menambahkan, Indonesia memiliki bantalan kuat mulai dari cadangan devisa dan suplai dolar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa Indonesia tercatat USD 118,31 miliar pada 31 Juli 2018.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah prioritaskan untuk jaga kestabilan nilai tukar rupiah. Pemerintah dan BI koordinasi untuk implementasi kebijakan yang dapat tekan defisit neraca transaksi berjalan. Selain itu, diharapkan pemerintah dapat melakukan komunikasi dengan investor dan menjelaskan kalau kondisi ekonomi Indonesia lebih baik. Hal ini dilakukan agar mencegah aliran dana investor asing keluar dari Indonesia.
"Kebijakan kurangi impor barang tidak produktif seperti barang mewah. Bank Indonesia juga day to day intervensi di pasar dengan beli SUN. Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun sudah 8,4 persen kalau tidak diintervensi bisa lebih besar. Ini dalam jangka pendek bisa menahan sentimen negatif yang berkembang," tambah dia.
Josua menilai, jangan membandingkan kondisi nilai tukar rupiah pada 1998 dengan saat ini. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat. “Kalau 1998 rupiah depresiasi sekitar 200 persen. Saat ini dari awal tahun rupiah bergerak di kisaran 13.800 sekarang sekitar 15 ribu, melemah 11 persen,” ujar dia.
Namun, memang upaya menstabilkan rupiah tetap diperlukan untuk menjaga sektor riil.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement