Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan untuk menstabilkan kembali defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) adalah dengan menggalakkan kembali kinerja ekpor dan investasi di dalam negeri. Adapun CAD saat ini sudah mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 tercatat sebesar USD 8 miliar. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I-2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.
"Perlu juga saya ingatkan kepada kita semua, dua hal penting, yakni ekspor dan investasi, ini akan menguatkan ekonomi kita," kata Jokowi saat ditemui di Indonesia Kendaraan Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Advertisement
Mantan Wali Kota Solo ini menekankan, tanpa kedua hal tersebut, jangan harap dapat menyelesaikan masalah fundamental ekonomi yang kuat seperti harapan.
"Kalau itu bisa kita lakukan, dengan ekspor devisa meningkat dan neraca perdagangan akan semakin stabil dan membaik," kata dia.
Kepala negara ini juga berharap agar CAD ini bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Oleh karenanya, sejumlah langkah yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk menutupi defisit transaksi berjalan, seperti halnya penerapan B20.
"Pertama telah kita proses dan ini sudah berjalan. Mengenai B20 ini akan mengurangi impor minyak. Kemudian kalau CPO kita pakai sendiri atau B20, artinya suplai ke pasar akan menjadi turun, sehingga kita harapkan harga CPO kita naik," jelas Jokowi.
Kemudian, pemerintah juga telah berupaya menggenjot penggunaan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam berbagai proyek, sehingga dapat mengurangi impor USD 2 miliar- USD 3 miliar.
"Yang kedua TKDN, selalu saya sampaikan baik kepada kementerian, swasta, BUMN, agar pemakaian itu diperhatikan agar kita bisa memakai semua komponen dalam negeri, ini akan ada penghematan," pungkas Jokowi.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Kian Lesu, RI Harus Perkuat Sektor Ekspor
Nilai tukar rupiah terus merosot pada awal September ini. Mengutip data Bloomberg, Selasa sore, 4 September 2018. Rupiah berada di kisaran 14.935 per dolar AS (USD).
Agar tidak semakin memburuk, pemerintah disarankan untuk memperkuat sektor ekspor agar nilai tukar rupiah tidak terus melemah di tengah keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam.
Meski begitu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai, kondisi saat ini masih jauh lebih baik dibanding masa krisis 1998. Sebab, menurut dia, sektor perbankan dalam negeri kini masih kuat.
Baca Juga
"Dulu problemnya dipicu oleh sektor perbankan sekarang perbankan kita jauh lebih kuat dan sehat. Sekarang problemnya dari global," ungkap dia kepada Liputan6.com, Selasa (4/9/2018).
Sebagai informasi, nilai tukar Rupiah terhadap USD pada saat krisis moneter 20 tahun silam sempat berada pada kisaran 16.500.
Dia lantas coba mengkaji mengapa rupiah terus membumbung tinggi hingga hari ini. Haryadi menilai, hal ini sebenarnya sudah diprediksi sejak lama lantaran beberapa faktor, antara lain komponen impor yang tinggi, beban fiskal yang terus bertambah, serta beban luar negeri yang juga besar.
Hariyadi pun memberikan beberapa saran untuk menanggulangi hal ini. "Yang perlu dilakukan, salah satunya all out ekspor di sektor perikanan. (Menteri Kelautan dan Perikanan) harus mau ubah kebijakan, khususnya untuk bisa ekspor ikan hias," ujar dia.
Di samping itu, dia juga menyarankan regulasi ekspor batubara harus dipermudah, serta mengimbau agar restitusi pajak jangan dipersulit lantaran itu merupakan modal kerja eksportir.
"Saat ini mengurus restitusi pajak bisa lebih dari 3 bulan, bahkan setahun. Perusahaan eksportir yang mengajukan restitusi harus diperiksa laporan pajaknya, yang terkadang malah membuat mereka mengalami temuan yang menyebabkan pengenaan pajak lainnya. Sehingga itu membuat eksportir jadi enggan mengurus restitusi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka," tutur dia.
Hal lain yang perlu segera diinisiasi, lanjutnya, antara lain melakukan subtitusi impor, percepatan kebijakan Biodiesel 20 Persen (B20), memberikan insentif dan kemudahan untuk sektor industri yang produknya dipersiapkan mengganti barang impor, serta imbauan agar penambahan tarif pajak penghasilan (PPh) jangan membatasi bahan baku, barang modal, dan minuman beralkohol untuk konsumsi turis.
"Proyek infrastruktur yang belum mendesak diperlukan dan akan menjadi beban baru juga harusnya segera ditunda. Contohnya, kereta cepat Jakarta-Bandung," pungkas Hariyadi.
Advertisement