Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini memang tidak bisa dibandingkan dengan pelemahan rupiah saat krisis moneter pada 1998. Sentimen eksternal atau global dinilai membawa peran besar pada kontribusi depresiasi.
Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, krisis yang menimpa RI pada 1998 dengan 2018 jauh berbeda. Kondisi sentimen, menurutnya, lebih kompleks pada saat ini.
"Jadi krisis 1998 dan 2018 itu beda, karena sekarang itu likuiditas masih tetap melimpah kan sekarang memang banyak kompleksitas yang pengaruhi atau terjadi," tuturnya di Jakarta, Kamis (06/9/2018).
Advertisement
Ia juga menambahkan, porsi utang RI tidak sebaiknya dinilai dari ukuran (size debt), melainkan bagaimana pemanfaatan produktivitas utang itu.
Baca Juga
"Negara berkembang seperti Brasil utangnya ini sekitar 3 kali lipat dari utang Indonesia. Rasio utang harus dilihat dari GDP. Jadi jangan salah paham sama utang. Masalah kita bukan di ukuran utang," ujarnya.
Menurut Budi, salah satu yang bisa dilakukan terutama bagi kaum milenials saat ini ialah mengurangi pembelian produk impor atau menekan konsumtif untuk mengikuti tren.
"Rupiah melemah karena fundamental internal kita defisit. Ini cerminan dari kita yang kurang produktif dan juga kompetitif," ungkapnya.
"Milenial jangan konsumtif, kurangi beli barang-barang impor, kita ini tampaknya cinta sekali dolar AS, suka beli gadget-gadget terbaru. Jadi jangan selalu ikuti tren, kurangi ke luar negeri," tambah dia.
Budi juga menambahkan, masyarakat seharusnya jangan memandang utang sebagai suatu hal yang negatif. Menurut dia, masyarakat perlu mengetahui secara struktural bagaimana utang ini bekerja.
"Orang itu pada mau lihat rupiah menguat, padahal kalau rupiah sampe Rp 10.000, habislah cadangan devisa kita. Ini kan nikmat sesaat. Jadi jangan negatif soal utang ini," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rupiah Menguat, Tinggalkan Level 14.900 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat kembali pada perdagangan Kamis pekan ini setelah dari awal pekan terus tertekan. Penguatan rupiah ini menyusul pertanyaan dari salah satu pejabat Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed).
Mengutip Bloomberg, Kamis (6/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.875 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.938 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah masih berada di kisaran 14.875 hingga 14.890 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,85 persen.
BACA JUGA
Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok 14.891 per dolar AS, menguat jika dibanding dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.927 per dolar AS.
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, mata uang dolar AS bergerak melemah terhadap beberapa mata uang dunia seperti euro dan pound sterling menyusul pernyataan Presiden The Fed St Louis James Bullard bahwa The Fed harus menghentikan kenaikan tingkat suku bunga.
"Risiko perang dagang dan data ekonomi yang belum cukup kuat menjadi salah satu alasan bagi pejabat The Fed itu untuk menghentikan kenaikan suku bunga," paparnya seperti dikutip dari Antara.
Di tengah situasi itu, mata uang rupiah diuntungkan. Namun, masih adanya risiko yang tinggi bagi mata uang negara-negara berkembang akibat krisis keuangan yang terjadi Argentina, Turki, dan Afrika Selatan dapat menahan apresiasi rupiah.
Advertisement