Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah meyakini kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih jauh dari krisis. Meski nilai tukar rupiah mengalami depresiasi beberapa waktu terakhir.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, yang dihadapi Indonesia saat ini sebenarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun defisit tersebut bukan terburuk sepanjang sejarah.
"Kalau masalah CAD bukan pertama, defisit -3,04 persen di kuartal II. Di 2013 -3,19 persen. Jadi bukan yang yang perlu ditakuti. Bukan kiamat, bukan krisis. Di 2013 tidak terjadi apa-apa. Pertumbuhan ekonomi bisa 5,56 persen, meski memang inflasi 8 persen," ujar dia dalam Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (10/9/2018).
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, transaksi berjalan Indonesia memang sering mengalami defisit. Hanya saja pada saat ini diperburuk dengan kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
"Kalau ada yang bilang krisis, itu historisnya kalau lihat data ekonomi kita selalu hadapi CAD. Sekarang memang jadi terbatas karena kondisi global yang penuh ketidakpastian. Ini mengakibatkan capital outflow terjadi," ungkap dia.
Oleh sebab itu, lanjut Iskandar, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini tidak perlu menjadi ketakutan yang berlebihan. Justru jika terlalu khawatir, kondisi ekonomi Indonesia akan sulit bangkit.
"Ketakutan yang berlebihan tidak bagus. Kalau berpikiran negatif akan terjadi hal yang negatif. Seperti kalau bank sebenarnya sehat tapi karena nasabah ketakutan kemudian mereka ambil uang berbondong-bondong maka bisa bangkrut banknya," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pelemahan Rupiah 2018 Tak Separah Krisis 1998
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika menyatakan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik ketimbang saat krisis 1998. Meski nilai tukar rupiah saat ini tengah melemah ke level 14.800 per dolar Amerika Serikat (AS).
"Jika dibandingkan 1998, seperti yang kerap dirujuk oleh banyak pengamat, situasinya tentu sangat berbeda," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
BACA JUGA
Erani mengatakan, saat krisis 1998, hampir seluruh indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang tidak baik. Contohnya, pertumbuhan ekonomi yang minus dan inflasi yang melambung tinggi.
"Pertumbuhan pada tahun tersebut minus 13,1 persen, ekonomi betul-betul berkabut tebal. Nilai tukar rupiah mencapai Rp 16.650 per dolar padahal IHSG pada saat itu hanya 256, sekarang terus tumbuh menjadi 5.700-an. Dan inflasi melambung sampai 82,4 persen," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, saat 1998 cadangan devisa Indonesia hanya USD 17,4 miliar dollar dan kredit bermasalah atau Nonperforming Loan (NPL) luar biasa tinggi hingga 30 persen.
"Dan CAR minus 15,7 persen sektor perbankan amat rapuh. Itu masih ditambah dengan suku bunga acuan BI yang mencapai 60 persen dan rasio utang terhadap PDB sebesar 100 persen," ungkap dia.
Melihat data tersebut, lanjut Erani, secara keseluruhan situasi yang terjadi sekarang ini dalam koridor ekonomi yang terkelola dengan baik, terlebih bila dibandingkan dengan 1998.
"Pemerintah dan BI terus memonitor kondisi ekonomi dan bertekad untuk memerbaiki defisit transaksi berjalan agar tekanan terhadap pelemahan rupiah makin berkurang. Beberapa kebijakan sudah diambil dan terus ditambah mengikuti dinamika ekonomi yang terjadi. Saling bergandengan tangan dan menumbuhkan sikap positif akan sangat membantu penguatan ekonomi nasional ke depan," tandas dia.
Advertisement