Sukses

Kebijakan Pengendalian Rupiah Tak Ganggu Pertumbuhan Ekonomi di 2019

Berbagai rating lembaga internasional dan Bank Dunia juga masih menyatakan jika ekonomi Indonesia masih bertumbuh tumbuh positif di tahun depan, yaitu sekitar 5,2 persen.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan guna mengendalikan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat(AS) dan memperbaiki defisit transaksi berjalan, seperti kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) impor pasal 22.

Namun kebijakan ini dikhawatirkan akan memuat target pertumbuhan ekonomi di tahun depan tidak sesuai dengan harapan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Robert Leonard Marbun mengatakan, meski ada sejumlah kebijakan secara jangka pendek dan menengah yang ditujukan untuk mengendalikan pelemahan nilai tukar rupiah, pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan masih positif.

"Jika dilihat dari inflasi rata-rata tahun depan masih di kisaran 3,5 persen, konsumsi rumah tangga sekitar 4,1 persen," ujar dia dalam Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Selain itu, lanjut dia, berbagai rating lembaga internasional dan Bank Dunia juga masih menyatakan jika ekonomi Indonesia masih bertumbuh tumbuh positif di tahun depan, yaitu sekitar 5,2 persen.

"Pertumbuhan ini masih ditopang dari industri pengolahan yang meningkat dari 4,3 persen menjadi 5,1 persen 2019. Jasa keuangan juga masih tumbuh begitu pula industri jasa dan logistik. Begitu pula industri asuransi," tandas dia.

 

2 dari 2 halaman

Rupiah Melemah Imbas Faktor Global

Nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada semester II 2018. Tekanan terhadap rupiah didorong sentimen eksternal dan internal.

Rupiah melemah 9,52 persen dari 2 Januari 2018 di posisi 13.542 per dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.835 per dolar AS pada Senin 10 September 2018. Hal itu berdasarkan patokan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).

Nilai tukar rupiah bahkan sempat sentuh level terendah di posisi 14.927 per dolar AS pada 5 September 2018. Bila melihat kurs tengah BI, rupiah merosot terjadi sejak Mei 2018. Rupiah pertama kali sentuh posisi kisaran 14.000 pada 9 Mei 2018 di posisi 14.074.

Sebelumnya, Head of Indonesia Equity Research Citigroup Securities Indonesia, Ferry Wong menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat dipengaruhi faktor global terutama Argentina. Krisis ekonomi Argentina mempengaruhi negara berkembang. Akan tetapi, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Argentina.

Salah satunya dilihat dari defisit neraca transaksi berjalan. Argentina alami defisit 4,8 persen. Sedangkan data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat USD 8 miliar.  Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit kuartal sebelumnya USD 5,7 miliar atau 2,21 persen dari PDB. Hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.

Meski demikian, Ferry menambahkan, defisit transaksi berjalan Indonesia yang capai tiga persen terhadap PDB pada akhir kuartal II 2018 menekan rupiah. Ferry memperkirakan rupiah masih akan tertekan hingga akhir tahun.

"Karena faktor Argentina mulai kena lagi dan current account defisit bukan hal yang baru dan masih akan menekan hingga akhir tahun. Semua negara emerging market tertekan juga jadi cuma ikut perlahan dari negara lain," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Senin (10/9/2018).

Ia menambahkan, pemerintah sudah melakukan hal yang perlu dilakukan untuk stabilkan nilai tukar rupiah antara lain penerapan perluasan biodiesel 20 persen dan mengendalikan impor. Namun, dampaknya tidak bisa langsung. "Saya rasa investor tidak terlalu khawatir karena semua juga begitu,” kata dia.