Sukses

Penyederhanaan Aturan Cukai Rokok Bikin Persaingan Lebih Sehat

Saat ini, struktur tarif cukai rokok lebih ramping dari 19 layer menjadi 13 layer pada 2013.

Liputan6.com, Jakarta Langkah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatur cukai rokok melalui Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) dinilai tepat. Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai rokok diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 146/2017.

“Segala kebijakan yang berkaitan dengan tarif cukai, struktur cukai adalah ranah kewenangan Kemenkeu,” kata Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Senin (10/9/2018).

Dia mengatakan, penyederhanaan juga pernah dilakukan pada 2012. Saat ini, struktur tarif cukai rokok lebih ramping dari 19 layer menjadi 13 layer pada 2013.

“Kemenkeu yang mengatur dalam PMK. Bukan dalam PP. Jadi ini sudah jelas,” tegasnya.

Penyederhanaan struktur tarif cukai, kata Yustinus, adalah kebijakan yang bersifat teknis. Karena itu, tidak tepat jika diatur ke dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Dengan adanya kebijakan simplifikasi, Yustinus menambahkan, persaingan di industri rokok lebih sehat. Kebijakan ini nantinya akan memisahkan antara pabrikan besar dan kecil.

"Pabrikan besar tidak bisa lagi bermain di tarif cukai golongan II, yang diperuntukkan buat pabrikan kecil. Artinya besar lawan besar, dan kecil lawan kecil," ungkap dia.

Hal senada disampaikan anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ahmad Najib.

Menurut dia, sebelum adanya aturan ini, ada pabrikan memanfaatkan celah untuk menikmati tarif cukai yang lebih rendah. “Aturan ini menutup celah seperti ini,” jelas dia.

Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Sunaryo menegaskan bahwa pemerintah tetap konsisten menjalankan kebijakan ini. "Kami ingin sampaikan ini sudah berjalan. Ini tetap terus berjalan," kata dia.

 

Reporter: Idris Rusadi Putra

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Industri Kecil Minta Penyederhanaan Cukai Rokok Konsisten Berlaku

Industri hasil tembakau (IHT) kecil berharap pemerintah tetap memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Pengusaha ingin ini tetap diberlakukan sesuai tahapan karena sudah mempertimbangkan aspek keadilan dan perlindungan terhadap perusahaan rokok kecil.

Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan PMK Nomor 146/2017 sudah tepat dari aspek persaingan usaha yang adil antara perusahaan rokok besar-menengah dan kecil.

“PMK No. 146/2017 itu sudah tepat bagi keberlangsungan usaha IHT kecil,” ujar dia, Kamis (6/9/2018).

Dia menilai pemberlakuan PMK Nomor 146/2017 tidak akan mematikan IHT kecil. Terutama pada Bab II pasal 3 tentang kumulasi jumlah produksi sigaret putih mesin (SPM) dengan sigaret kretek mesin (SKM).

Dia meyakinkan, pelaku produsen SPM sebenarnya tidak ada IHT menengah dan kecil. Pelaku SPM semuanya IHT besar. Semua perusahaan rokok yang memproduksi SPM juga memproduksi SKM dan masuk golongan I.

Dengan begitu, jika tidak dikumulasikan antara produksi SKM dan SPM justru menjadi pertanyaan dari aspek keadilannya karena berarti perusahaan rokok besar menikmati tarif yang lebih murah karena SPM yang mereka produksi masuk golongan II.

Karena itulah, kata Heri, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea dan Cukai dituntut konsisten dalam menerapkan ketentuan yang telah dibuat.

PMK 146/2017, sudah sesuai dengan roadmap IHT. Karena itulah, jika penundaan, apalagi pembatalan terhadap sebagian bab dan pasal dalam PMK tersbeut, maka berarti suatu kemunduran dalam menjalankan roadmap IHT.

Menurut Heri, perusahaan rokok yang bersikukuh menolak kumulasi SPM dengan SKM sebenarnya melakukan praktik yang tidak tepat, karena mereka sebenarnya tergolong perusahaan rokok besar.

“PMK tersebut merupakan bagian dari program simplifikasi tarif cukai yang berkeadilan. Karena itulah, kami sebagai pelaku IHT kecil, jelas mendukungnya,” ujarnya.

Namun, dia mengingatkan, untuk produk IHT yang tidak tergantikan, yakni sigaret kretek tangan (SKT), maka pengembangan produksinya perlu didorong dengan berbagai kebijakan kemudahan dan pemberian stimulus tarif cukai sehingga memberikan ruang gerak yang lebih luas.

Apalagi trennya, konsumsi SKT terus menurun, kalah bersaing dengan SKM dan SPM. Padahal dari sisi sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, SKT banyak menyerap tenaga kerja sehingga membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran.

Reporter: Idris Rusadi Putra

Sumber: Merdeka.com

Video Terkini