Liputan6.com, Jakarta - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS menimbulkam anggapan kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dari saat krisis 1998. Apakah anggapan tersebut benar?
Rupiah terdepresiasi hingga menyentuh level 15.000 per dolar AS dianggap sebagai tanda bahwa ada yang tak beres dengan perekonomian lndonesia belakangan ini. Lalu apakah benar Indonesia berada di ambang krisis moneter?
Ekonom dari Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) Faishal Rahman mengatakan, kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini berasal dari faktor eksternal dan internal.
Advertisement
Kondisi sekarang ini juga dinilai jauh berbeda dengan kondisi ekonomi Indonesia saat terjadi krisis yaitu pada 1998.
"Sebenarnya jika masalah krisis atau tidak, kita sebenarnya melihat dari historis sebelumnya dibandingkan kondisi sekarang," kata Faishal dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/9/2018).
Baca Juga
Kondisi sekarang, Indonesia banyak dipengaruhi faktor eksternal.
Faktor eksternal diantaranya datang dari bank sentral AS atau The Fed yang sangat agrsif menarik dolar AS kembali masuk ke negaranya sendiri dengan cara menaikkan suku bunga acuan berulang kali setelah satu dekade lamanya berada di level rendah, interest rate, dan menarik surat utang.
Indikatomya, pasar saham AS telah mencapai rekor tertinggi, dan ekonomi telah tumbuh lebih dari 4 persen karena diperkuat oleh kebijakan pemotongan pajak yang disahkan oleh Kongres tahun lalu, serta Presiden Donald Trump iuga memangkas kebijakan-kebijakan lainnya.
Selain itu, trade war atau perang dagang yang pecah antar AS dan China juga telah menimbulkan kebimbangan bagi para investor untuk memikirkan dimana dia harus menaruh dana.
Kuatnya pasar AS, yang dikombinasikan dengan peningkatan suku bunga, menarik investor yang memiliki uang untuk menanamkan uang mereka ke negara dengan pertumbuhan tinggi.
Aliran dana investasi ke AS ini pada dasarnya meningkatkan nilai dolar AS, dan menjadikan AS sebagai tujuan yang lebih menarik bagi investor.
"Jika kondisi seperti ini berikan ketidakpastian atau spekulasi. Dan di inetrnal kita, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan negara - negara lain, inflasi terjaga inflasi pangan dan umum. Cadangan devisa cukup tinggi jika dibandingkan dengan tahun 1998," ujarnya.
Kemudian dia mengungkapkan pelemahan nilai tukar per September 2018 jika dibandingakan periode yang sama pada tahun lalu (year on year) hanya 11 persen.
"Cukup jauh jika dibandingkan 1997 dan 1998. NPL (kredit bermaslalah) kecil 2,67 di bulan Juni. Mungkin dari situ baru kita bisa melihat apakah ini fenomenal ini akan sama di 97 dan 98. Tapi KEIN melihat bahwa Indonesia masih dalam posisi aman." kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Masih Aman
Dia menegaskan ekonomi Indonesia masih aman meski tengah mengalami defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) serta defisit neraca perdagangan.
"Jadi kestabilan ini tengah dijaga pemerintah agar tidak ada spekulasi, dan tidak ada kepanikan yang muncul." jelas dia.
Dia menegaskan, saat ini yang perlu dilakukan adalah pengendalian impor. Dan pemerintah sudah melakukan beberapa inisiasi untuk mengurangi atau menahan impor. Salah satunya dengan cara mengerem Proyek Startegis Nasional (PSN).
"Kalau sudah tepat mungkin ini yang diharapkan pemerintah mencoba. Ini tidak ada yang menginginkan, dari pemerintah coba stabilkan Rupiah dan bisa pengaruhi proyeksi APBN kita. Kita butuh uang berapa, utang jatuh tempo dan bunga. Jadi ini upaya pemerintah jaga fluktuasi."
Dalam kesempatan serupa, Fitzgerald Stevan Purba selaku Chief Investment Officer IndoSterling Capital mengatakan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini memamg dipengaruhi oleh faktor global dan penyematan kata krisis bagi Indonesia tidaklah tepat.
"Kalau pandangan kita, memang benar penyebab semua gejala dan penggunaan krisis saat ini belum bisa benar. Kalau krisis ada di negara Argentina dan Venezuela. Kita jauh dari negara itu. Tapi karena kita tergolong dari negara -negara tersebut jadi kita ikut kebawa," ujarnya.
Sejak Turki mengalami krisis ekonomi pada bulan Agustus 2018, nilai mata uang negara-negara berkembang di seluruh dunia juga mengalami penurunan disertai hengkangnya investor asing. Tren melemahnya mata uang ini terjadi dari Afrika Selatan hingga lndonesia.
Bahkan Argentina, yang mulai stabil setelah krisis pada awal tahun, perekonomiannya kini berada pada kondisi darurat serta harus meningkatkan suku bunganya menjadi 60 persen, lantaran Mata uang peso juga anjlok.
"Banyak PR yang belum diselesiakn sehingga menyebabkan CAD masih saja defisit dan neraca perdagangan juga masih defisit . Jika dibandingkan sebelumnya Tahun 2008 dan 1998 itu yang belum terselesaikan. Jika fundamental sudah jauh lebih baik, ke depan masih optimistis dan berhati - hati." tutup dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement