Liputan6.com, Jakarta - Masalah impor gula rafinasi kembali dikeluhkan oleh para petani lokal, khususnya Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Sebab, adanya impor ini dinilai membuat harga tebu petani lokal jatuh dan tidak terserap.
Namun, hal tersebut dibantah oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Dia mengatakan, sebenarnya yang menjadi masalah bukan soal impor, melainkan produktivitas dan kualitas gula yang dihasilkan oleh pabrik dalam negeri, khususnya milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).‎
Advertisement
Baca Juga
"Kenapa pabrik gula swasta yang juga berasal dari tebu tidak ada masalah, karena dia efisien. Bahkan, petani tebu yang dibeli tebunya oleh swasta tidak ada masalah. Dia beli putus. Jadi, ada dua hal, sistem dan efisiensinya," ujar dia di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Menurut Enggar, industri gula swasta sudah menggunakan mesin yang modern. Hal ini membuat biaya produksinya menjadi lebih efisien dan kualitas gula yang dihasilkan juga baik. Sedangkan industri milik BUMN dinilai tidak efisien, sehingga biaya produksinya lebih tinggi dan berimbas pada harga jual gula.
"Berapa harga pokok gula yang dijual oleh pabrik gula swasta yang berasal dari tebu? Apakah dia onfarm atau dia beli. Range-nya antara Rp 5.500-Rp 8.000 per kg. Yang BUMN karena mesinnya ada yang 185 tahun usianya, itu dia tidak efisien, menjadi di atas Rp 9.000. Kemudian apakah kita harus naikkan (harga eceran tertinggi/HET)? 264 juta rakyat Indonesia harus menanggung beban kerugian harga tinggi akibat efisiensi dari pabrik gula BUMN itu. Enggak fair. Mari kita jaga rakyat," jelas dia.
Enggar menyatakan, sebenarnya saat ini harga gula di tingkat konsumen bisa hanya sekitar Rp 12 ribu per kg, atau di bawah HET yang sebesar Rp 12.500. Namun, dengan harga seperti ini, pabrik-pabrik gula yang sudah tua tidak bisa bersaing.
"Sekarang terbukti, bisa dengan Rp 12 ribu, tapi yang collapse yang tidak efisien. Yang tidak efisien ya tutup saja. Sebenarnya juga harus ada investasi baru atau serahkan kepada swasta karena BUMN tidak efisien," kata dia.
Dari data Kementerian Perdagangan (Kemendag), dari 59 pabrik gula di Indonesia, 35 pabrik di antaranya telah berumur 100-184 tahun atau sekitar 59,3 persen. Kemudian empat pabrik (6,8 persen) berumur 50-99 tahun, 11 pabrik (18,6 persen) berumur 25-49 tahun dan hanya 9 pabrik (15,3 persen) yang berumur di bawah 25 tahun.
Dari sisi produktivitas, dari 59 pabrik, sebanyak 16 pabrik (28 persen) berkapasitas 2.000 ton cane per day (TCD), 27 pabrik (45,6 persen) berkapasitas 2.000-4.000 TCD, 4 pabrik (6,6 persen) berkapasitas 4.000-6.000 TCD, 9 pabrik (13,4 persen) berkapasitas 6.000-8.000 TCD, 1 pabrik (1,4 persen) berkapasitas 8.000-10.000 TCD dan 3 pabrik (5 persen) yang berkapasitas di atas 10 ribu TCD.
Sedangkan dibandingkan negara lain, seperti Thailand, jumlah pabriknya sebanyak 51 pabrik dengan total kapasitas giling sekitar 940 ribu TCD dan rata-rata kapasitas 16.500 TCD per pabrik.
Australia, sebanyak 24 pabrik dengan total kapasitas giling sekitar 480 ribu TCD dan rata-rata kapasitas 11 ribu TCD per pabrik. Dan India, sebanyak 684 pabrik dengan total kapasitas giling 3,42 juta TCD dan rata-rata kapasitas 5.000 TCD per pabrik.